Saat pandemi corona (Covid-19) melanda dunia, hampir semua negara kewalahan dalam menahan laju penyebaran infeksinya. Berbagai cara dilakukan agar semua orang mematuhi protokol kesehatan (prokes) yang ketat, disamping menggenjot secara all-out program vaksinasi covid-19. Diantara isi prokes yang lazim dilakukan adalah mewajibkan semua orang memakai masker di tempat publik termasuk di dalam Masjid. Sehingga mau tak mau, orang yang mau haji atau umrah, wajib juga mengenakan masker saat menunaikan manasiknya.
Dalam literatur fikih dinyatakan, diantara larangan bagi perempuan yang sedang ihram (umrah/haji) adalah menutup sebagian atau keseluruhan wajah. Jika larangan ini dilanggar, maka yang bersangkutan telah berdosa dan wajib membayar fidyah atau dam. Memakai masker -secara pasti- merupakan bagian dari menutup wajah. Perlu dicatat, larangan seperti ini hanya berlaku bagi perempuan, karena bagi laki-laki muhrim (yang berihram) yang dilarang adalah menutup kepala -bukan wajah.
Pertanyaannya, jika dalam melanggar larangan tersebut didasari karena suatu kebutuhan atau karena alasan tertentu, apakah yang bersangkutan tetap berdosa dan wajib membayar fidyah/dam? Para fuqaha (ahli fikih) telah membahasnya secara gamblang.
Imam An Nawawi (w. 676 H), pakar fikih dan hadis terkemuka, dalam kitab Manasiknya menjelaskan:
هذا الَّذي ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَحْريم اللبس والستْر هو فيما إذا لم يَكُنْ عُذْر، فإذا لَبِسَ أو سَتَر شَيْئاً ممَّا قُلْنَا إنَّهُ حَرَامٌ، أَثِم ولَزِمَتْهُ الْفِدْيةُ ..... لو احْتَاج الرَّجُل إلى سَتْرِ رَأسه أو لبْس الْمَخيطِ لِحَر أو بَرْد أو مُدَاوَاة أو نَحْوها أو احْتَاجَتْ الْمَرأةُ إلَى سَتْر وَجْهها، جازَ وَوَجَبَتْ الْفِدْية. [الإيضاح في مناسك الحج والعمرة، صفحة ١٥٤]
“Larangan yang berupa memakai pakaian atau menutup (kepala/wajah) yang telah kami sebutkan tadi adalah dalam kasus jika tidak ada uzur. Dalam arti jika melanggar secara demikian (tanpa uzur), maka ia telah berdosa dan wajib membayar fidyah..... Akan tetapi, jika ada lelaki (muhrim) yang menutup kepalanya atau memakai baju berjahit karena hawa panas, dingin, pengobatan atau sejenisnya -begitu juga perempuan (muhrimah) yang perlu menutup wajahnya-, maka hukumnya boleh dan wajib fidyah.” [Al Idlah fi Manasik Al Hajj wal Umrah, hal. 154]
Lebih ringkas dan jelas, Imam Zakaria Al Anshāri (w. 926 H) menyatakan:
(مَنْ لَبِسَ) فِي الْإِحْرَامِ مَا يَحْرُمُ لُبْسُهُ بِهِ أَوْ سَتَرَ مَا يَحْرُمُ سَتْرُهُ فِيهِ (لِحَاجَةِ حَرٍّ أَوْ بَرْدٍ أَوْ مُدَاوَاةٍ) أَوْ نَحْوِهَا (جَازَ وَفَدَى). [أسنى المطالب في شرح روض الطالب، ٥٠٧/١]
“(Barangsiapa memakai) saat ihram sesuatu yang haram untuk dipakai, atau menutup sesuatu yang haram untuk ditutupi (karena keperluan sebab panas, dingin, pengobatan) atau sejenisnya (maka hukumnya boleh dan membayar fidyah).” [Asna Al Mathalib fi Syarh Raudl Ath Thalib, 1/507]
Dengan demikian, menjadi jelas jika seorang perempuan muhrimah (sedang ihram haji/umrah) memakai masker dengan alasan menjaga diri dari penyakit atau mengikuti kewajiban prokes, maka ia tidak berdosa, namun masih berkewajiban untuk membayar fidyah atau dam.
Dan telah maklum di kitab-kitab fiqh, dam dalam kasus ini termasuk kategori Dam At Takhyir wa At Taqdir (دم التخيير والتقدير), artinya bisa memilih diantara tiga opsi: (1) memyembelih kambing, (2) sedekah makan kepada 6 (enam) orang miskin dengan kadar 0.5 sha' (sekitar 1.4 liter, atau 1.1 kg beras) untuk setiap orangnya, atau (3) puasa selama 3 (tiga) hari (Al Idlah, hal. 476-477). Jika memutuskan untuk memberi sedekah, maka wajib diberikan kepada orang miskin yang berada di tanah Haram. Sedangkan jika memilih untuk berpuasa, maka boleh ditunaikan dimanapun, hanya saja lebih utama dilaksanakan saat masih di tanah Haram (silakan baca Al Idlah fi Manasik Al Hajj wal Umrah, hal. 490-492).
Wallahu A'lam,
0 comments:
Post a Comment