Diantara syarat diperbolehkannya seorang musafir untuk mengqashar shalat adalah destinasinya terbilang jauh (dua marhalah, atau sekitar 80 km), perginya tergolong bepergian yang mubah, dan jelas arah tujuannya (bukan orang bingung yang pergi yang tak karuan arah tujuannnya). Syarat-syarat yang kami sebutkan ini telah diterangkan secara jelas di banyak kitab Fikih, diantaranya Minhāj Ath Thālibîn (hal. 44-45) kartya Imam An Nawawi (w. 676 H), Fath Al Wahhāb bi Syarh Manhaj Ath Thullāb (1/82-83) karya Syaikul Islam Al Imam Zakaria Al Anshāri (w. 926 H), Fath Ar Rahmān bi Syarh Zubad ibn Raslān (hal. 366-368) karya Imam Syihabuddin Ar Ramli (w. 957 H) dan yang lainnya.
Bepergian yang diperbolehkan (mubāh) disini maksudnya bepergiannya bukan tergolong maksiat, baik itu dalam rangka ketaatan maupun berdagang. Sehingga tidak berhak mendapatkan dispensasi (rukhshah) orang yang bepergian dalam kemaksiatan, misalnya budak yang lari dari tuannya, istri dari suaminya, atau pergi karena mau membegal, mau berzina dan semacamnya. Orang yang semacam ini tidak diperbolehkan mengqashar shalat, meninggalkan puasa, menunaikan shalat sunnah di kendaraan, ataupun menjamak shalat. Perlu kami tekankan disini bahwa ini berbeda dengan kasus orang yang berbuat maksiat dalam suatu perjalanan yang mubah. Misalnya bepergian dalam rangka berziarah, namun dia sering menggunjing di tengah perjalanan. Dalam kasus yang disebut terakhir, dia tetap berhak mendapatkan rukhshah. Demikian penjelasan Imam An Nawawi dalam Ar Raudlah (1/388).
Imam An Nawawi melanjutkan, diantara hal yang bisa dipersamakan (di-ilhaq-kan) dengan bepergian yang maksiat adalah orang yang menyusahkan diri dan memacu kendaraannya dengan tanpa tujuan (yang benar). Imam Ash Shaidalāni (w. 427 H) menyebut jika perbuatan seperti itu tidak diperbolehkan (haram). Maka, jika ada orang yang berpindah dari kota ke kota dengan tanpa tujuan yang benar (gharadl shahīh), maka tidak berhak mendapatkan rukhshah. Imam Abu Muhammad Al Juwaini (w. 438 H) menambahkan, bepergian yang hanya untuk melihat-lihat suatu kota (mujarrad ru’yah al-bilād), adalah bukan termasuk tujuan yang benar (Raudlah Ath Thalibin, 1/389). Sehingga tak patut pula untuk mendapatkan rukhshah.
Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan awal jika ada orang bepergian dengan tujuan sekedar untuk melihat-lihat suatu kota, ingin melihat keindahan bangunannya, seberapa besar/tingginya, atau semacamnya, maka tidak diperbolehkan baginya untuk mengqashar shalat atau memperoleh rukhshah lainnya.
Lalu bagaimana dengan bepergian untuk berwisata atau bertamasya?
Dalam literatur fikih, disamping ada “ru’yah al-bilād”, ada istilah lain yang disebut “tanazzuh” –yang biasa diterjemahkan sebagai “piknik/bertamasya”. Ulama mendefinisikan “tanazzuh” sebagai aktifitas menghilangkan rasa penat/suram yang bersifat manusiawi, dengan cara melihat pemandangan yang indah. Syaikh Syamsuddin Al Hifni (w. 1181 H) mengatakan, tanazzuh adalah melihat pemandangan yang menyenangkan dengan maksud untuk menghilangkan kesedihan duniawi.
Dalam pandangan ulama, pada kasus tanazzuh (bertamasya) ini, kami bisa merangkum setidaknya menjadi tiga kemungkinan. Pertama, dia bertamasya hanya sebagai singgahan, dalam arti bukan tujuan awal dia bepergian. Kedua, tamasya sebagai tujuan awal dan satu-satunya alasan dia bepergian. Atau kemungkinan ketiga, dia bertamasya dalam rangka mengobati penyakit tertentu.
Pada kasus pertama, yakni piknik hanya sebagai singgahan, ulama mengatakan bahwa hukumnya mengikuti tujuan awalnya. Semisal orang bepergian dalam rangka berziarah, bersilaturahmi, berdagang atau gharadl shahih lainnya, di saat yang sama dia juga bertamasya, maka orang tersebut berhak memperoleh rukhshah. Bahkan misalnya jika terdapat dua jalur untuk menuju tujuan utamanya (yang tergolong gharadl shahih), dimana salah satu jalurnya berjarak kurang dari dua marhalah (80 Km), sedangkan satunya lagi berjarak lebih dari dua marhalah. Lalu, dia memilih untuk menempuh jalur yang lebih jauh dengan alasan bisa sekalian piknik/bertamasya, maka diperbolehkan baginya untuk mengqashar shalat. Hukum yang demikian ini telah disepakati oleh Imam An Nawawi dalam Ar Raudlah (1/387) dan Al Majmu’ (4/330-331), Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuhfahnya (2/382), Imam Ar Ramli dalam Nihāyahnya (2/264), Imam Khathîb Asy Syirbini (w. 977 H) dalam Mughninya (1/523-524) dan yang lainnya.
Bagaimana dengan kasus kedua? Dimana piknik menjadi tujuan awal dan satu-satunya alasan dia bepergian? Menurut Imam Ar Ramli dalam An Nihayah (2/261) dan Imam Khatib Asy Syirbini dalam Al Mughni (1/523-524), orang yang bepergian dalam rangka tanazzuh tidak berhak mendapatkan rukhshah, sehingga dia tidak boleh mengqashar shalat. Menurut beliau berdua, pada kasus kedua ini hukumnya sama dengan kasus orang yang bepergian semata-mata untuk melihat-lihat suatu kota (mujarrad ru’yah al-bilād), yang tidak bisa dikategorikan sebagai gharadl shahîh (tujuan yang benar). Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar Al Haitami yang beliau nyatakan dalam fatwanya (Al Fatāwā Al Fiqhiyah Al Kubrā, 1/231-232), antara mujarrad ru’yah al-bilād dan tanazzuh patut untuk dibedakan. Menurut beliau, tanazzuh termasuk bagian dari gharadl shahîh, karena pada umumnya dimaksudkan untuk menghilangkan tekanan psikologis, meluruskan suasana hati atau semacamnya. Sehingga, menurut beliau, yang bersangkutan boleh mengqashar shalatnya.
Sedangkan untuk kasus yang terakhir–tanazzuh dengan tujuan mengobati atau meringankankan penyakit tertentu, banyak ulama mengatakan boleh qashar karena termasuk gharadl shahîh. Bahkan Syaikh Syabramallisi (w. 1087 H) menambahkan, walaupun penyakitnya itu belum didiagnosa oleh dokter sekalipun (Hasyiah ala Nihāyah, 2/261). Pendapat ini juga dinukil oleh Syaikh Sulaiman Al Jamal (w. 1204 H) dari dua gurunya, Syaikh Al Hifni dan Syaikh Az Zayyādi (Hasyiah Jamal ala Syarh Manhaj, 1/597). Sekian.
Wallahu A'lam.
@Abdul Latif Ashadi
0 comments:
Post a Comment