Dalam literatur ilmu hadits –khususnya yang berkaitan dengan periwayatan, kita akan jumpai suatu nama laqab (julukan) yang cukup familiar tertulis di banyak tempat. Walaupun itu bukan nama asli, tapi banyak orang lebih sering memakai nama itu ketimbang nama aslinya. Nama itu bertuliskan “راهويه”, diawali dengan huruf ra’, lalu alif, ha’, wauw, ya’ dan diakhiri dengan ha’ (bukan ta'). Lantas bagaimana cara membacanya yang benar? Mengingat di kitab-kitab turats al-qadimah (karya klasik)–yang di kalangan pesantren dikenal istilah kitab kuning-- tidak dijumpai adanya harakat alias gundul.
Pertama, kami temukan dalam al-Ansab karya Imam Abu Sa’d Abdul Karim as-Sam’ani (w. 562 H) suatu nisbah yang dinamakan “الراهُويى” (ar-Rahuyi). Terkait nisbah ini, beliau menjelaskan:
“Ar-Rahuyi –dengan difathah ra’-nya, dibaca dhommah ha’-nya dan diakhiri dengan ya’ bertitik dua dibawah—adalah nisbah yang disematkan kepada Imam Ishaq ibn Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Rahuyah” (al-Ansab, 6/56)
Hal senada juga disebutkan oleh Syeikh Izzuddin Abul Hasan Ali ibn Abil karim Muhammad ibn al-Atsir al-Jazari (w. 630 H) dalam al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab (2/12). Mereka berdua sepakat hanya menyebutkan satu versi cara baca saja, yakni Rahuyah. Syeikh Syihabuddin Abu al-Abbas ibn Raslan asy-Syafi’i (w. 844 H)—sang pakar fikih kenamaan dan penulis nadzam fikih terkenal Shafwah az-Zubad—dalam Syarh Sunan Abi Dawud (11/294) juga menjelaskan hal sama. Beliau menyatakan bahwa ‘ابن راهويه’ dibaca dengan mendhommah ha’-nya dan mensukun wauw-nya, atau dibaca Ibn Rahuyah. Dan beliau tidak menjelaskan adanya versi cara baca yang lain.
Kedua, adanya penjelasan dari Imam Abu Zakaria Yahya an-Nawawi (w. 676 H) dalam Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, yaitu kitab yang secara khusus mendefinisikan beberapa kata, bahasa dan biografi ulama. Dalam karyanya itu, beliau menyebutkan adanya dua versi dalam pelafalan “راهويه” dan beberapa kata yang mirip dengannya. Beliau menyatakan,
“Kata ‘حربويه’ itu (ditulis) dengan ha’ tanpa titik yang difathah, lalu ra’ yang disukun, kemudian ba’ dan wauw yang keduanya difathah, disusul ya’ yang disukun, lalu diakhiri dengan ha’ (= Harbawaih). Disebutkan pula bahwa kata itu (ditulis) dengan ba’ yang didhommah, lalu wauw yang disukun dan ya’ yang berharakat fathah (= Harbuyah). Kedua pengucapan ini berlaku untuk semua kata yang menyerupainya, semisal Sibawaih/Sibuyah, Rahawaih/Rahuyah, Nafthawaih/Nafthuyah, dan Amrawaih/Amruyah. Versi yang pertama (Harbawaih) merupakan madzhabnya ulama ahli nahwu dan pakar sastra, sedangkan versi yang kedua (Harbuyah) dipakai oleh para ulama ahli hadis.” (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 2/258)
Penjelasan Imam an-Nawawi ini diperkuat pula oleh Syeikh Shalahuddin Khalil ibn Aybak ash-Shafadi (w. 764 H) dalam al-Wafi bi al-Wafayat (6/86) dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam Tadrib al-Rawi (1/400) yang datang kemudian. Hanya saja, menurut Syeikh ash-Shafadi, terkhusus panggilan ‘Ibn Rahawaih’ yang merujuk pada Imam Ishaq Ibn Rahawaih, maka ulama ahli hadis hanya menyebut ‘Rahawaih’, bukan ‘Rahuyah’. Klaim beliau ini disebutkan dalam karyanya, al-Wafi bi al-Wafayat (6/86),
“Syeikh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Adibba’ mengatakan, Ibn Bassam menjadikan ‘نفطويه’ dibaca Nafthuyah—dengan dhommah tha’nya, wauw disukun dan difathah ya’nya. Cara baca Ibn Bassam ini terbilang aneh. Dan begitulah kebiasaan para ahli hadis yang tidak mau mengucapkan nama-nama yang berakhiran ‘ويه’ (waih) selain dengan cara baca seperti itu, kecuali menyangkut ‘Ishaq ibn Rahawaih’, maka mereka tidak menyebut selain ‘Ishaq ibn Rahawaih –difathah wauwnya dan disukun ya’nya—karena bentuk seperti ini termasuk ism shaut (bunyi). Mereka menghindari menguncapkan kata ‘waih’, sehingga mereka mengatakan ‘Sibuyah’, ‘Hamuyah’, ‘Zanjuyah’ dan ‘Darastuyah’.”
Dalam halaman berbeda pada kitab yang sama, beliau lebih tegas menyatakan,
“Para ahli hadis telah bersepakat bahwa kata ini mereka baca ‘Rahawaih’—ha’ dan wauw-nya difathah dan ya’-nya disukun. Dan menyangkut ism-ism Ashwat selain kata ‘Rahawaih’, mereka membacanya (dengan wazan) ‘Rahuyah’—dengan didhommah ha’-nya, disukun wauw-nya dan difathah ya’-nya.” (al-Wafi bi al-Wafayat, 8/251)
Kemudian muncul Imam Badruddin Abu Abdillah Muhammad az-Zarkasyi (w. 794 H) yang juga menyinggung adanya perbedaan cara baca ini. Hanya saja diantara dua versi yang ada, beliau lebih memilih ‘Rahuyah’. Beliau menyatakan saat memberi catatan tambahan mengenai ‘إِسْحَاق بن راهويه’:
“Diperbolehkan dalam (melafalkan) ‘راهويه’ untuk difathah ha’ dan wauw-nya lalu disukun ya’-nya (alias Rahawaih), atau disukun wauw-nya dan difathah ya’-nya (alias Rahuyah). Dan versi yang kedua inilah yang dipilih” (an-Nukat ala Muqaddimah Ibn ash-Shalah, 1/129)
Lalu beliau melanjutkan,
“Dari al-Hafidz Jamaluddin al-Mizzi (w. 742 H), beliau mengatakan: Rata-rata dari ulama ahli hadis menyebut ‘Fa’luyah’—dengan dibaca dhommah huruf sebelum wauw, kecuali kata ‘راهويه’ yang mayoritas diantara mereka melafalkan ‘Rahawaih’—yaitu dibaca fathah huruf sebelum wauw” (an-Nukat ala Muqaddimah Ibn ash-Shalah, 1/130)
Dengan kata lain, pendapat al-Hafidz al-Mizzi (w. 742 H) ini menguatkan klaim Syeikh Shalahuddin ash-Shafadi (w. 764 H) yang telah kami sebutkan sebelumnya. Walaupun ada ulama pakar bahasa yang datang setelahnya, yakni Imam Majduddin al-Firuzabadi (w. 817 H) menyatakan bahwa versi ‘Rahuyah’ tidak banyak dipakai. Beliau mengatakan,
إسحاق بن راهويه بفتح الهاء والواو ثم ياء مثناة تحتيه، ويقال بضم الهاء وسكون الواو وفتح الياء، وهذه قليلة،
“Ishaq adalah putra Rahawaih –dengan dibaca fathah ha’ dan wauwnya, lalu diikuti ya’ bertitik dua dibawah. Ada juga yang menyebut ‘Rahuyah’—dengan didhommah ha’-nya, disukun wauwnya dan difathah ya’-nya, dan ini sedikit” (Tuhfah al-Abiyyah fi Man Nusiba ila Ghairi Abih, 1/101)
Ketiga, ada keterangan yang menarik dari Imam Abu al-Abbas Syamsuddin Ahmad ibn Muhammad Ibn Khallikan (w. 681 H) –seorang penulis kamus biografis terkenal. Beliau menjelaskan adanya dua versi seperti halnya ulama sebelumnya, namun beliau menyebut ‘Rahwaih’ sebagai ganti ‘Rahawaih’. Beliau mengatakan dalam Wafayat al-A’yan (1/200),
وراهويه - بفتح الراء وبعد الألف هاء ساكنة ثم واو مفتوحة وبعدها ياء مثناة من تحتها ساكنة وبعدها هاء ساكنة - لقب أبيه أبي الحسن إبراهيم، وإنما لقب بذلك لآنه ولد في طريق مكة، والطريق بالفارسية " راه " و " ويه " معناه وجد، فكأنه وجد في الطريق، وقيل فيه أيضا " راهويه " بضم الهاء وسكون الواو وفتح الياء،
“Rahwaih (راهويه)–dengan difathah ra’-nya, setelah alif ada ha’ yang disukun, lalu wauw yang difathah dan setelahnya adalah ya’ yang bertitik dibawah dan disukun, kemudian diakhiri dengan ha’ yang disukun—adalah julukan untuk ayahnya (Ishaq), yakni Abu al-Hasan Ibrahim. Dijuluki demikian karena beliau lahir di jalanan kota Mekah. Jalan dalam bahasa Persia disebut ‘rah’ (راه) dan ‘waih’ (ويه) artinya ditemukan. Jadi seakan-akan beliau itu ditemukan (dilahirkan) di jalan. Dan disebutkan pula bahwa (راهويه) itu dibaca ‘Rahuyah’—dengan dibaca dhommah ha’-nya, disukun wauw-nya dan difathah ya’-nya.”
Kami tidak menemukan penyebutan ‘Rahwaih’ (ha’-nya disukun) dari para ulama terdahulu selain dari Imam Ibn Khallikan ini. Belakangan kami dapati ada ulama dari India yang ikut melafalkan itu, yaitu Syeikh Muhammad Shiddiq Khan ibn Hasan al-Qannuji (w. 1307 H) dalam karyanya at-Taj al-Mukallal min Jawahir ath-Thiraz al-Akhir wa al-Awwal (24-25). Beliau juga merunut asal muasal julukan itu sebagaiman yang dilakukan Ibn Khallikan. Wallahu A’lam.
REFERENSI
- As-Sam’ani, Abu Sa’d Abdul Karim ibn Muhammad at-Tamimi al-Marwazi (w. 562 H). Al-Ansab (Ed. Abdurrahman ibn Yahya al-Yamani dkk). Majlis Da’irah al-Ma’arif al-Utsmaniyah, Haidar Abad, I/1382 H
- Ibn al-Atsir, Abu al-Hasan Izzuddin Ali ibn Muhammad al-Syaibani Al-Jazari (w. 630 H). Al-Lubab fi Tahdzib al-Ansab. Dar Shadir, Beirut
- An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf (w. 676 H). Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat (Ed. Syirkah Ulama dengan bantuan ath-Thabaah al-Muniriyah). Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut
- Ibn Khallikan, Abu al-Abbas Syamsuddin Ahmad ibn Muhammad al-Irbily (w. 681 H). Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman (Ed. Ihsan Abbas). Dar Shadir, Beirut
- Ash-Shafadi, Shalahuddin Khalil ibn Aybak ibn Abdillah (w. 764 H). Al-Wafi bi al-Wafayat (Ed. Ahmad al-Arnauth dan Turki Musthafa). Dar Ihya’ at-Turats, Beirut, 1420 H
- Az-Zarkasyi, Abu Abdillah Badruddin Muhammad ibn Abdillah asy-Syafi’i (w. 794 H). An-Nukat ala Muqaddimah Ibn Shalah (Ed. Zainul Abidin Muhammad). Adlwa’ as-Salaf, Riyadh, I/1419 H
- Al-Firuzabadi, Abu Thahir Majduddin Muhammad ibn Ya’kub asy-Syairazi (w. 817 H). Tuhfah al-Abiyyah fi Man Nusiba ila Ghairi Abih (dalam Nawadir al-Makhthuthat, Abdussalam Muhammad Harun, w. 1408 H). Syirkah Maktabah Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, II/1393 H
- Ibn Raslan, Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad ibn Husain al-Ramli asy-Syafi’i (w. 844 H). Syarh Sunan Abi Dawud (Ed. Khalid ar-Ribath dkk). Dar al-Falah, Mesir, I/1437 H
- As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Khudlairi (w. 911 H). Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi (Ed. Abu Qutaibah Nadzar al-Faryabi). Dar Thaibah
- Al-Qannuji, Abu ath-Thayyib Muhammad Shiddiq Khan ibn Hasan al-Husaini al-Bukhari (w. 1307 H). At-Taj al-Mukallal min Jawahir Ma’atsir ath-Thiraz al-Akhir wa al-Awwal. Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiah, Qatar, I/1428 H
0 comments:
Post a Comment