Beliau juga menambahkan,
“Yang dzahir (nampak) terkait makna hadis tersebut, jika dinilai benar, dibawa kepada pemahaman bahwa yang dimaksud dengan al-wathan (tanah air) adalah surga. Karena surga merupakan tempat pertama bagi bapak kita, Nabiyullah Adam alaihis salam. Terlepas dari perbedaan, apakah Adam diciptakan di surga atau Allah memasukkannya ke dalam surga setelah tercipta sempurna. Atau yang dimaksud adalah kota Mekah, karena Mekah adalah ummul qura dan kiblat seluruh alam. Atau (yang dimaksud adalah) kembali kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam thariqah para Shufi, karena Allah-lah yang menjadi titik permulaan dan tempat kembali, seperti dalam firman-Nya ‘Dan sesungguhnya kepada Tuhanmu-lah tempat kembali’. Atau boleh jadi, yang dikehendaki adalah tanah air/negara pada umumnya, namun dengan syarat, sebab cintanya kepada negerinya adalah untuk menyambung silaturahmi atau berbuat baik kepada penduduk negerinya, termasuk orang-orang miskin dan anak yatim.”
Demikianlah bantahan dan komentar Syeikh al-Minufi al-Mishri (w. 939 H) dan Imam al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) yang dicatat dalam karya beliau berjudul al-Maudlu’at al-Kubra (180-182) dan dikutip pula oleh Syeikh Isma’il al-Ajluni (w. 1162 H) dalam Kasyf al-Khafa’ (1/393).
Imam al-Mulla Ali al-Qari dalam karya yang lain, yakni Syarh Misykah al-Mashabih, pernah juga berkomentar terkait ungkapan ‘Hubbul Wathan minal Iman’ ini. Tepatnya ketika beliau mengomentari nasihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi ‘Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang pengembara’, beliau mengatakan,
“Adapun hadis ‘hubbul wathan minal iman’ maka adalah palsu, walaupun maknanya benar, lebih-lebih jika dibawa pada pemahaman bahwa yang dimaksud al-wathan (tanah air) adalah surga yang merupakan tempat tinggal pertama” (Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, 3/1158-1159)
Jadi sekali lagi, Imam Ali al-Qari lebih menekankan untuk mengarahkan makna “al-wathan” kepada “surga”, yang merupakan tanah air yang pertama dan diharapkan pula menjadi tanah air yang terakhir. Pemaknaan seperti ini ternyata didukung pula oleh Syeikh Muhammad Ali ibn Allan al-Bakri asy-Syafi’i (w. 1057 H), bahkan beliau berani menyatakan bahwa banyak diantara ulama yang sependapat dengan pemaknaan seperti itu. Hal ini beliau sampaikan dalam karyanya, Dalil al-Falihin syarh kitab Riyadl ash-Shalihin. Beliau menyatakan,
“Pada hakikatnya manusia adalah asing di dunia ini, karena tanah air yang hakiki adalah surga, sebagaimana banyak Ulama yang mengartikan ungkapan ‘Cinta tanah air sebagian dari iman’ sebagai (cinta) pada surga, yaitu tempat dimana Allah menurunkan Adam dan Hawwa, dan kesanalah insyaAllah tempat kita kembali -dengan karunia Allah” (Dalil al-Falihin, 5/10)
Terakhir, perlu kami tambahkan disini bahwa terlepas dari perdebatan apakah jargon 'hubbul wathan minal iman' atau 'cinta tanah air sebagian dari iman' ini bisa dibenarkan maknanya atau tidak, ada satu hal lain yang menarik dari apa yang terjadi dalam diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait kecintaan beliau kepada negerinya, Madinah al-Munawwarah. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya dari Anas ibn Malik radliyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau pernah bekata,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, maka beliau mempercepat jalan unta beliau, dan bila menunggang hewan lain maka beliau memacunya.” (HR. Bukahri, 1675)
Mengomentari hadis shahih ini, al-Imam al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), al-Hafidz Badruddin al-Aini (w. 885 H), al-Hafdiz Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dan yang lainnya secara tegas menyatakan,
“Dan dalam hadis tersebut menunjukkan dalil akan keutamaan kota Madinah dan dalil akan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya” (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 3/621. Lihat pula: Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 10/283; al-Tausyih Syarh al-Jami’ ash-Shahih, 3/1360; Tuhfah al-Ahwadzi, 9/283)
Sehingga dapat kami simpulkan disini bahwa menurut para ulama dan imam-imam besar tadi, cinta tanah air merupakan perkara yang disyariatkan dalam Agama Islam, bahkan dipraktekkan sendiri oleh Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Wallahu a’lam.
REFERENSI
- Al-Hafidz Abu Fadll Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i (w. 852 H), Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (Ed. Muhibbuddin al-Khathib), Dar al-Ma’rifah Beirut, 1379 H
- Al-Hafidz Badruddin Abu Muhammad Mahmud ibn Ahmad al-Aini al-Hanafi (w. 855 H), Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Beirut
- Al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi asy-Syafi’i (w. 911 H), at-Tausyih Syarh al-Jami’ ash-Shahih (Ed. Ridlwan Jami’ Ridlwan), Maktabah al-Rusyd Riyadh, I/1419 H
- Al-Imam Abu al-Fadla’il al-Hasan ibn Muhammad al-Qurasyi ash-Shaghani (w. 650 H), Maudlu’at ash-Shaghani (Ed. Najm Abdirrahman Khalaf), Dar Nafi’, I/1401 H
- Al-Imam Abu Bakr Ahmad ibn Marwan ad-Dinawari al-Maliki (w. 333 H), al-Mujalasah wa Jawahir al-Ilm (Ed. Abu Ubaidah Masyhur Alu Salman), Jam’iyah al-Tarbiyah al-Islamiyah Bahrain dan Dar Ibn Hazm Beirut, 1419 H
- Al-Imam al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi (w. 911 H), ad-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytaharah (Ed. Muhammad ibn Luthfi ash-Shabbagh), Imadah Syu’un al-Maktabat, Riyadh
- Al-Imam al-Hafidz Muhammad Abdurrahman as-Sakhawi (w. 902 H), al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytaharah ala al-Alsinah (Ed. Muhammad Utsman al-Hitt), Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, I/1405 H
- Syeikh Abu al-Ala Muhammad Abdurrahman ibn Abdirrahim al-Mubarakfuri (w. 1353 H), Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut.
- Syeikh Abu al-Fida’ Isma’il ibn Muhammad al-Jarrahi al-Ajluni ad-Dimasyqi (w. 1162 H), Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas ‘Amma Isytahara min al-Ahadits ‘ala Alsinah an-Nas (Ed. Syeikh Yusuf ibn Mahmud al-Hajj), Maktabah al-Ilm al-Hadits Damsyiq, 1421 H
- Syeikh Abu al-Mahasin Muhammad ibn Khalil al-Qawuqji ath-Tharabulusi al-Hanafi (w. 1305 H), al-Lu’lu’ al-Marshu’ fi Ma La Ashla Lahu aw Bi-Ashlihi Maudlu’ (Ed. Fuad Ahmad Zamrali), Dar al-Basya’ir al-Islamiyah Beirut, I/1415 H
- Syeikh Ahmad ibn Abdulkarim al-Ghazzi al-Amiri (w. 1143 H), al-Jadd al-Hatsits fi Bayan Ma Laitsa bi Hadits (Ed. Bakr Abdullah Abu Zaid), Dar al-Rayah, Riyadh, 1412 H
- Syeikh al-Maula Abu al-Fida’ Isma’il Haqqi al-Khalwati al-Hanafi (w. 1127 H), Tafsir Ruh al-Bayan, Dar al-Fikr Beirut
- Syeikh Mar’i ibn Yusuf ibn Abi Bakr al-Karmi al-Maqdisi al-Hanbali (w. 1033 H), al-Fawa’id al-Maudlu’ah fi al-Ahadits al-Maudlu’ah (Ed. Dr. Muhammad ibn Luthfi al-Shabbagh), Dar al-Warraq Riyadh, III/1419 H
- Syeikh Muhammad al-Amin ibn Abdullah al-Urami al-Harari asy-Syafi’i, Tafsir Hada’iq ar-Rauh wa ar-Raihan fi Rawabi Ulum al-Qur’an (Ed. Dr. Hasyim Muhammad Ali Mahdi), Dar Thuq an-Najah Beirut, I/1421 H
- Syeikh Muhammad al-Amir al-Kabir al-Maliki (w. 1228 H), an-Nukhbah al-Bahiyyah fi al-Ahadits al-Makdzubah ala Khair al-Bariyah (Ed. Zuhair asy-Syawisy), al-Maktab al-Islami Beirut, I/1409 H
- Syeikh Muhammad Ali ibn Muhammad ibn Allan al-Bakri ash-Shiddiqi asy-Syafi’i (w. 1057 H), Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadl ash-Shalihin (Ed. Khalil Ma’mun Syiha), Dar al-Ma’rifah Beirut, IV/1425 H
- Syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H), Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits (Ed. Fahd ibn Nashir as-Sulaiman), Dar ats-Tsurayya KSA, II/1423 H
- Syeikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H), Syarh Riyadl ash-Shalihin, Dar al-Wathan Riyadh, 1426 H
- Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Silsilah al-Ahadits adl-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, Maktabah al-Ma’arif Riyadh, I/1412 H
- Syeikh Najmuddin Muhammad al-Ghazzi ad-Dimasyqa (w. 1061 H), Itqan Ma Yahsunu min al-Akhbar ad-Da’irah ala al-Alsun (Ed. Khalil ibn Muhammad al-Arabi), Al-Faruq al-Haditsah, Kairo, I/1415 H
- Syeikh Nuruddin al-Mulla Ali ibn Sulthan Muhammad al-Qari (w. 1014 H), al-Asrar al-Marfu’ah fi al-Akhbar al-Maudlu’ah = al-Maudlu’at al-Kubra (Ed. Muhammad ibn Luthfi al-Shabbagh), al-Maktab al-Islami, Beirut, II/1406 H
- Syeikh Nuruddin al-Mulla Ali ibn Sulthan Muhammad al-Qari (w. 1014 H), al-Mashnu’ fi Ma’rifah al-Hadits al-Maudlu’ = al-Maudlu’at ash-Shughra (Ed. Syeikh Abdul Fattah Abu Ghaddah), Mu’assasah al-Risalah Beirut, II/1398 H
- Syeikh Nuruddin al-Mulla Ali ibn Sulthan Muhammad al-Qari (w. 1014 H), Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, Dar al-Fikr Beirut, I/1422 H
- Syiekh Muhammad Thahir ibn Ali ash-Shiddiqi al-Hindi al-Fattani (w. 986 H), Tadzkirah al-Maudlu’at, Idarah al-Thaba’ah al-Muniriyah, I/1343 H
0 comments:
Post a Comment