Salah satu permasalahan yang sejak dahulu kala masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama ialah terkait nasib anak kecil di alam kuburnya, yakni apakah anak kecil yang meninggal dunia sebelum mencapai usia baligh akan tetap diuji di alam kuburnya lewat pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir atau tidak. Sebagian ulama mengatakan iya, sebagian yang lain berpendapat tidak.
Kelompok pertama, yakni ulama yang menyatakan anak kecil tetap akan ditanyai di alam kuburnya, menganggap bahwa pertanyaan kubur bersifat umum -walaupun masih ada pengecualian-, baik bagi seorang mukallaf maupun tidak, sehingga anak kecil pun termasuk bagian darinya. Diantara ulama yang termasuk kelompok pertama ialah Imam Dlahhak (w. 105 H) dari kalangan tabi’in, Syeikh al-Bazzazi al-Hanafi (w. 827 H), Ibn Furaq (w. 406 H), Imam Abu Sa’id al-Mutawalli al-Naisaburi (w. 478 H), Syeikh Tajuddin Ibn Yunus al-Syafi’i (w. 671 H), Syeikh Abu Syuja’ (w. 593 H) sebagaimana dinukil Syeikh Sa’duddin al-Taftazani, lalu Imam al-Qurthubi al-Maliki (w. 671 H), Tajuddin al-Fakihani (w. 734 H), Ibn Naji al-Tanukhi (w. 837 H) dan lain-lain (al-Hawi li al-Fatawi, 2/212).
Pendapat Imam al-Dlahhak diketahui lewat riwayat Imam Ibn Jarir dalam Tafsirnya (13/230-231) melalui Juwaibir, beliau pernah berkata:
"Anak lelaki Dlahhak ibnu Muzahim meninggal dunia dalam usia enam hari. Dlahhak berkata, 'Hai Jabir, apabila engkau letakkan anakku di dalam liang lahadnya, maka bukalah wajahnya dan lepaskanlah tali bundelannya, karena sesungguhnya anakku ini nanti akan disidang dan ditanyai.' Maka saya melakukan apa yang dipesankannya itu. Setelah saya selesai mengebumikannya, saya bertanya, 'Semoga Allah merahmatimu, terkait apa anakmu akan ditanyai?' Dahhak menjawab, 'Dia akan ditanyai mengenai perjanjian yang telah diikrarkannya semasa ia masih berada di dalam sulbi Adam.'
Perjanjian yang dimaksud ialah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Abbas radliyallahu anh,
Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam pernah bersabda: “Allah telah mengambil janji dari sulbi Adam alaihis salam di Nu'man tepat pada hari Arafah. Maka Allah mengeluarkan dari sulbinya semua keturunan yang kelak akan dilahirkannya, lalu Allah menyebarkannya di hadapan Adam, kemudian Allah berbicara kepada mereka secara berhadapan, "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap (keesaan Tuhan)", atau agar kalian tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” (Al-A'raf: 172-173)
~ HR. Imam Ahmad (2455), Ibn Abi ‘Ashim dalm al-Sunnah (202), al-Nasa’i dalam al-Kubra (11191), al-Hakim (2/544), al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa al-Shifat (326-327). Al-Haitsami menyatakan sanadnya shahih. Walaupun Imam Ibn Katsir (3/501) menyebut akan mauqufnya hadits tersebut.
Diantara alasan yang dipakai oleh kelompok pertama ialah bahwa kita sebagai umat Islam disyari’atkan untuk mendo’akan anak-anak kecil yang meninggal dunia supaya mereka diselamatkan dari siksa kubur. Menurut mereka, pertanyaan kubur termasuk bagian dari fitnah dan siksa kubur. Hal ini sesuai atsar yang diriwayatkan Imam Malik dari Sa’id ibn al-Musayyab,
Beliau pernah berkata: “Saya pernah bermakmum di belakang Abu Hurairah radliyallahu anh untuk menyalatkan seorang anak kecil yang belum pernah melakukan dosa apapun, lalu saya mendengar beliau berdo’a ‘Ya Allah, selamatkanlah dia dari siksa kubur’.”
~ HR. Imam Malik dalam al-Muwattha’ (537), al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (11/374), al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra (4/9) dan Ibn Abi al-Dunya dalam al-Iyal (420). Para pakar sanad menyatakan bahwa riwayat ini shahih (Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, 6/224; Ma Shahha min Atsar al-Shahabah fi al-Fiqh, 2/544)
Alasan lain yang dijadikan hujjah oleh kelompok pertama adalah terkait kesunahan mentalqin anak kecil. Ini berdasarkan riwayat yang menyebut bahwa Rasulullah shallallahu laihi wasallam mentalqin putra beliau, Sayyidina Ibrahim, saat meninggal. Sayyidina Ibrahim meninggal pada tahun 10 H saat usia beliau baru mencapai 1 tahun dan 10 bulan, atau ada yang mengatakan usia beliau saat itu 18 bulan. Kemudian saat beliau selesai dimakamkan, Rasulullah shallallahu laihi wasallam bersabda:
“Wahai anakku, katakanlah: Allah adalah tuhanku, Rasulku adalah bapakku, dan Islam adalah agamaku”.
Riwayat ini disebutkan oleh Abu Sa’id al-Mutawalli al-Naisaburi al-Syafi’i (w. 478 H) dalam Tatimmah al-Ibanah dengan tanpa sanad, dan dikutip pula oleh Syeikh Abu Bakr ibn Faurak (w. 604 H) dalam kitabnya al-Nidzami fi Ushul al-Din juga dengan tanpa sanad. Kita tahu salah satu tujuan talqin adalah membantu si mayit supaya bisa menjawab pertanyaan malaikat di Alam Kuburnya.
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menambahkan dalam karyanya al-Tadzkirah (377) bahwa anak kecil yang meninggal dunia hukumnya seperti orang yang sudah baligh. Akal mereka akan disempurnakan supaya mereka mengetahui kedudukan dan keberuntungan mereka. Lalu mereka juga akan diberi ilham untuk menjawab apa yang ditanyakan kepada mereka. Menurut beliau, pemahaman seperti itu sesuai kandungan dari hadits-hadits secara lahiriah.
Sedangkan kelompok kedua berpandangan bahwa anak kecil yang belum memasuki usia baligh tidak akan ditanyai di alam kuburnya. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama diantaranya Imam Ibn Shalah (w. 643 H), Imam al-Nawawi (w. 676 H), Imam al-Nasafi (w. 710 H), Imam Ibn Rif’ah (w. 710 H), Imam Taqiyuddin al-Subki (w 756 H), Imam Badruddin al-Zarkasyi (w. 794 H), al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dan masih banyak lagi.
Mereka beranggapan bahwa pertanyaan kubur hanya dikhususkan bagi mereka yang sudah mukallaf. Karena pada dasarnya pertanyaan kubur itu untuk mempertanyakan apakah yang bersangkutan beriman kepada sang Rasul dan mentaatinya atau tidak. Sehingga anak kecil yang notabene belum sempurna akalnya (belum mukallaf) tidak perlu untuk ditanyai. Jika ada yang berargumen bahwa nanti di Alam Kubur si anak kecil tadi akan disempurnakan akalnya lalu baru ditanyai (sebagaimana pendapat Imam al-Qurthubi), maka yang seperti itu dinilai sia-sia saja karena seseorang tidak mungkin ditanyai atas perkara yang telah lewat dimana dia pada saat itu tidak memahami dan mengetahuinya (al-Ruh, 87-88).
Sedangkan do’a yang pernah dipanjatkan shahabat Abu Hurairah kepada salah seorang bayi supaya terbebas dari siksa kubur, maka menurut banyak ulama siksa kubur yang dimaksud bukan lah siksa kubur yang berupa hukuman ataupun pertanyaan kubur, melainkan berupa kesedihan, kesusahan, ketakutan dan himpitan kubur yang dialami semua mayit, baik yang sudah baligh maupun yang belum (Hasyiah Syubramallisi ala Nihayah al-Muhtaj, 2/421; Hasyiah al-Syarwani, 3/76; Hasyiah al-Bujairami ala al-khathib, 2/299 dan 4/244, dari fatwa al-Allamah al-Syaubari [w. 1069 H]).
Hal ini sesuai pula dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
Dari Abi Ayyub radliyallahu anh, beliau berkata: Salah seorang anak bayi telah dikuburkan, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jikalau salah seorang bisa terbebas dari himpitan kubur, maka akan terbebas anak kecil ini”. ~HR. Al-Thabari (4/121, no. 3858), Imam al-Haitsami menyebut sanadnya shahih (Majma’ al-Zawa’id, 3/47)
Kemudian terkait riwayat yang menyebutkan jikalau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mentalqin putranya, Sayyid Ibrahim, maka menurut para ulama yang ahli tahkik (muhaqqiqin) riwayat tersebut tergolong gharib, tidak mempunyai dasar dan munkar. Ulama yang menyatakan demikian diantaranya Imam Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H) dalam Syarh al-Minhaj, al-Allamah Zakaria al-Anshari (w. 926 H) dalam Asna al-Mathalib (1/330), Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra (2/30) dan lain-lain. Pendapat ini selaras dengan pendapat yang masyhur di kalangan Madzhab Syafi’i sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Nawawi (w. 676 H),
“Talqin yang seperti ini (yakni talqin yang dilakukan setelah mayit dikubur oleh seseorang yang duduk didekat posisi kepala mayit) adalah untuk orang mukallaf, sedangkan anak kecil maka tidak perlu ditalqin” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 5/304; Raudlah al-Thalibin, 2/138; al-Hawi li al-Fatawi, 2/212).
Wallahu A’lam,
Thuqba, 05-01-2018
Referensi
- Al-Hawi li al-Fatawi, karya al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi (w. 911 H), Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, Beirut-Lebanon.
- Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, karya Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Ahmad Muhammad Syakir (Ed.), Mu’assasah al-Risalah, 1420 H.
- Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Tafsir Ibn Katsir), Abu al-Fidza’ Isma’il ibn Umar ibn Katsir al-Basyri al-Syafi’i (w. 774 H), Sami ibn Muhammad Salamah (Ed.), Dar Thoibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1420 H.
- Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (ma’a Takmilah al-Subki wal-Muthi’i), karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Syarof al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H), Dar al-Fikr, Beirut
- Al-Tadzkirah bi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah, karya Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi (w. 671 H), Dr. Shadiq ibn Muhammad (Ed.), Maktabah Dar al-Minhaj, Riyadh
- Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, karya al-Hafidz Nuruddin Ali al-Haitsami (w. 807 H), Husamuddin al-Qudsi (Ed.), Maktabah al-Qudsi Kairo, 1414 H
- Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Imam Syamsuddin Muhammad al-Ramli (w. 1004 H), beserta Hasyiah Nuruddin ibn Ali al-Syubramalisi (w. 1087 H) dan Hasyiah Ahmad ibn Abdirrazzaq al-Maghribi al-Rasyidi (w. 1096 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1404 H
- Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khothib (Hasyiah al-Bujairomi ala al-Khothib), Syeikh Sulaiman al-Bujairomi al-Syafi’i (w. 1221 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H
- Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (ma’a Hawasyi al-Imam Abdul Hamid al-Syarwani [w. 1301 H] wa al-Imam Ahmad Ibn Qasim al-Abbadi [w. 992 H]), karya Ibn Hajar Ahmad Ibn Muhammad al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H), Dar Ihya’ al-turots al-Arobi, Beirut.
- Al-Ruh, karya Syamsuddin Muhammad ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
- Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, karya Majidduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak al-Jazari (ibn Atsir) (w. 606 H), Abdul Qadir al-Arna’uth-Basyir Uyun (Ed.), Maktabah al-Halwani dan Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
- Jami’ al-Ahadits, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), al-Munawi dan al-Nabhani, Sekelompok peneliti dibawah bimbingan Syeikh Ali Jum’ah (Ed.), dicetak atas bantuan Prof. Dr. Hasan Abbas Zakki, 1423 H
- Asna al-Mathalib fi Syarh Rauld al-Thalib, karya Syeikh Zakaria al-Anshari (w. 926 H), Dar al-Kutub al-Islami.
0 comments:
Post a Comment