Kami temukan beberapa ulama yang setuju dengan kandungan dari ungkapan tersebut walaupun tidak menganggapnya sebagai sabda Nabi. Diantara ulama yang kami maksud itu adalah Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H). Pendapatkan beliau tersebut terlihat saat beliau menafsiri QS. Al-A’raf: 146,
“Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan)-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar... (QS. Al-A’raf: 146).”
Beliau mengatakan:
“Ketahuilah bahwa Allah menyebutkan dalam ayat ini kalimat ‘tanpa alasan yang benar’ karena bersikap sombong kepada pihak lain terkadang muncul karena alasan yang benar, sehingga bagi orang yang memiliki alasan yang benar berhak untuk sombong kepada orang yang memiliki alasan batil seperti dalam ungkapan yang masyhur ‘sombong kepada orang yang sombong termasuk sedekah’.” (al-Tafsir al-Kabir, 15/366)Begitu pula Syeikh Taqiyuddin Muhammad al-Barkawi (w. 981 H) dalam al-Thariqah al-Muhammadiyah (214-215). Beliau menjelaskan jikalau menyombongi orang yang sombong termasuk kategori sombong yang tidak haram. Beliau berkata:
“Sombong adalah perkara haram kecuali (1) kepada orang yang sombong, seperti ungkapan yang menyebut hal seperti itu termasuk sedekah, (2) saat peperangan (melawan orang kafir), (3) ketika bersedekah, ini sesuai riwayat Abu Dawud dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata:
‘Adapun rasa bangga yang Allah 'azza wa jalla cintai adalah rasa bangga seseorang kepada dirinya ketika berperang dan bersedekah’ [HR. Abu Dawud (2286), al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (9/156), Ahmad dalam al-Musnad (5/446), dan al-Thabarani al-Kabir (2/189). Menurut Syu’aib al-Arna’uth, termasuk hadits hasan li ghoirih]
Kemudian (4) dikecualikan pula sombong sebab menjaga harga diri karena sebab-sebab dunia, maka ini termasuk tidak diharamkan walaupun tidak terpuji.” (al-Thariqah al-Muhammadiyah, 214-215)
Syeikh Muhammad al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H) dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyah (2/231) menambahkan bahwa
“Terkadang sikap sombong bisa berguna untuk memperingatkan orang yang sombong dan bukan untuk menyombongkan diri sendiri, maka hal tersebut termasuk perkara yang terpuji, seperti misalnya sombong kepada orang-orang yang bodoh dan kaya”.Selain mereka ada ulama lain yang setuju dengan kandungan dari pepatah ‘sombong kepada orang yang sombong termasuk sedekah’, yaitu al-Hafidz al-Munawi (w. 1031 H). Beliau dalam Faidl al-Qadir (3/386-387) memasukkan sikap ‘sombong kepada orang yang sombong’ ke dalam bagian akhlak yang baik yang berjumlah puluhan. Bahkan dalam bagian yang lain dari kitab tersebut, beliau memberi argumen kenapa menyombongi orang yang sombong termasuk sedekah. Beliau berkata:
“Dalam atsar disebutkan ‘sombong kepada orang yang sombong termasuk sedekah’, karena sungguh orang yang sombong ketika anda tawaduk padanya maka dia akan bertambah (Jawa= ngelunjak) dalam keangkuhannya. Sebaliknya jika anda menyombonginya maka mungkin kesombonganmu itu menjadi peringatan (nasihat) baginya. Oleh karenanya Imam Syafi’i pernah berkata: ‘Tidak menjadi sombong dua kali ketika ada orang menyombongi orang yang sombong’.” (Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 4/277).
Akan tetapi, menurut beberapa ulama yang lain, semisal Syeikh Ali Jum’ah dan Syeikh Ibn Utsaimin, sama sekali tidak diperbolehkan berbuat sombong walupun kepada orang yang sombong sekalipun. Karena mengingat ancaman sifat sombong sungguhlah mengerikan -sebagaimana diungkapkan dalam hadits shahih-, yakni orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong walaupun hanya sekecil biji sawi, dia tidak akan masuk surga, na’udzubillah. Sedangkan ungkapan yang menyebut ‘sombong kepada orang yang sombong termasuk sedekah’, maka mereka menganggapnya sebagai ucapan yang batil yang tidak ada urusannya dengan agama.
Dari perbedaan pandangan itu, maka menurut kami jawaban yang tepat dari pertanyaan ‘apakah diperbolehkan menyombongi orang yang sombong?’ adalah kondisional, dalam arti mungkin iya dan mungkin tidak tergantung situasi dan kondisi. Dan jika iya, tentu tingkat kebolehannya dengan beberapa persyaratan. Oleh karenanya, al-Habib Umar ibn Hafidz ketika ditanya tentang pertanyaan yang sama, beliau menjawab:
“Diperbolehkan untuk memperlihatkan sikap sombong dengan anggota badan dengan tidak disertai sombong dalam hati, serta dilapisi dengan prasangka bahwa dia boleh jadi lebih utama di sisi Allah tabaraka wa ta’ala. Hal ini diakui sebagai salah satu obat untuk membantu saudara kita terbebas dari sifat sombongnya. Dan praktik seperti ini dilakukan kepada orang yang bisa terpengaruh darinya saat melakukan hal tersebut, serta tidak dibarengi oleh perasaan bahwa dia lebih utama darinya. Tidak diperbolehkan berlaku sombong dalam hati kepada siapapun walaupun kepada orang yang paling sombong sekalipun. Adapun memperlihatkan sifat kasar, perkataan kasar dan tidak berpaling kepadanya sebagai obat kesombongan yang ada padanya, maka hal seperti itu dibenarkan bagi orang yang mampu memakai obat tersebut dengan baik.”
Wallahu a’lam.
Thuqba, 25-Nov-2017.
Referensi
- Al-Thariqah al-Muhammadiyah wa al-Sirah al-Ahmadiyah, karya Syeikh Muhammad ibn Ali al-Barkawi (w. 981 H), Muhammad Rahmatullah Hafidz (Ed.), Dar al-Qalam Damsyiq, 1432 H
- Al-Tamtsil wa al-Muhadlarah, karya Syeikh Abu Manshur Abdulmalik ibn Muhammad al-Tsa’alibi (w. 429 H), Abdulfattah Muhammad al-Halu (Ed.), al-Dar al-Arabiyah li al-Kitab, 1401 H
- Mafatih al-Ghaib (al-Tafsir al-Kabir), karya Abu Abdillah Muhammad Ibn Umar al-Taimi Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Dar Ihya’ al-turots al-Arobi, Beirut, 1420 H
- Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, karya Abu al-Fida’ Isma’il ibn Muhammad al-Ajluni al-Dimasyqi (w. 1162 H), Abdulhamid ibn Ahmad ibn Handawi (Ed.), al-Maktabah al-Ashriyah, 1420 H
- Buraiqah Mamudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah, karya Abu Sa’id Muhammad ibn Muhammad al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H), Mathba’ah al-Halabi, 1348 H
- Thabaqat al-Auliya’, karya Syeikh Sirajuddin ibn al-Mulaqqin al-Syafi’i (w. 804 H), Nuruddin Syaribah (Ed.), Maktabah al-Khanji Kairo, 1415 H
- Al-Mustathraf fi Kulli Fannin Mustadzraf, karya Syihabuddin Abu al-Fath Muhammad ibn Ahmad al-Ibsyihi (w. 852 H), Alam al-Kutub Beirut, 1419 H
- Zahr al-Adab wa Tsamar al-Albab, karya Syeikh Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali al-Anshari al-Hushri al-Qairuwan (w. 453 H), Dar al-Jil Beirut
- Sunan Abi Dawud, karya Imam Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Azdi al-Sijistani (w. 275 H), Syu’aib al-Arna’uth & Muhammad Kamil Qarah Balili (Ed. & Takhrij), Dar al-Risalah al-Aliyah, 1430 H
- Ihya’ Ulum al-Din, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), beserta al-Mughni ‘an Haml al-Asfar fi al-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar karya Syeikh al-Hafidz Abdurrahim al-Iraqi (w. 806 H), Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, karya Imam Tajuddin Abdulwahhab ibn Taqiyyuddin al-Subki (w. 771 H), Dr. Mahmud Muhammad al-Thanaji & Dr. Abdulfattah Muhammad al-Halu (Ed.), Hajar li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1413 H
- Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, karya al-Hafidz Zaenuddin Muhammad Abdurrauf al-Munawi (w. 1031 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra Mesir, 1356 H
- Al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir, karya Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H), Dar al-Fikr, 1407 H
- Website resmi Habib Umar ibn Hafidz, http://www.alhabibomar.com/Fatwa.aspx?SectionID=5&RefID=22
Kembali ke BAGIAN-1.
0 comments:
Post a Comment