Banyak sekali diantara kita, lebih-lebih yang sedang menekuni dunia sains dan teknologi, menyesali kondisi umat Islam selama ini yang selalu dianggap terbelakang dalam hal teknologi. Bahkan mereka mulai mencari-cari kemudian menyalahkan bahkan mengkambing-hitamkan pihak-pihak tertentu sebagai biang keladi kemunduran. Bukti kekalahan umat Islam dalam hal teknologi ini dapat dibuktikan secara jelas dengan banyaknya penemuan-penemuan yang bersifat ilmiah yang dipelopori oleh ilmuwan-ilmuwan non-muslim. Dari sekitar 870 individu (mencakup 822 pria, 48 wanita) peraih Penghargaan Nobel sejak 1901 sampai 2015 M, hanya sekitar 11 orang dari mereka yang beragama Islam. Bahkan dari 11 orang tadi, hanya 2 yang mampu meraih Nobel dalam bidang sains, yaitu Abdus Salam dalam bidang Fisika (1979 M) dan Ahmed Zewail dalam bidang Kimia (1999 M). Sedangkan sisanya memperoleh Nobel dalam bidang sastra (2 orang) dan perdamaian (7 orang).
Saya dapat katakan disini, sedikitnya ada tiga hal utama yang sering mereka anggap sebagai penyebab kemunduran, yaitu adanya praktik taqlid, tasawwuf dan munculnya banyak aliran (sekte). Padahal kalau kita baca dalam sejarah perkembangan Islam, mayoritas Ulama tidak mempersoalkan ketiga hal tersebut, bahkan ketiga-tiganya tidak ada sangkut pautnya dengan hal yang dibicarakaan. Taqlid atau bermadzhab adalah sebuah keniscayaan. Tasawwuf adalah jalan untuk menyucikan jiwa. Sedangkan munculnya banyak aliran adalah sunnatullah dan menjadi bukti kebenaran sabda Nabi 1400 tahun silam.
Menurut saya, daripada kita mencari-cari siapa dan apa yang menjadi penyebab kemunduran, jauh lebih bijak kalau kita mau memulai untuk mengintrospeksi diri kita sendiri sambil memperdalam pengetahuan agama kita. Mari kita coba untuk membaca secara mendalam Firman Allah pada surah Ar-Rum ayat 7:
"Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai." (QS. Ar-Rum 30: Ayat 7)
Shahabat Ibn Abbas ra., sang Turjuman Al-Qur’an -sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Thabari dalam Tafsirnya (20/76), mengatakan bahwa yang disinggung dalam ayat ini adalah orang-orang kafir, yakni mereka mengetahui urusan dunia, tetapi bodoh dalam urusan agama. Penafsiran Ibn Abbas ini dikutip pula oleh Ibn Katsir dalam Tafsir beliau (6/305).
Lebih jauh lagi, sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat ini termasuk bagian dari mukjizat Al-Qur’an yang mengkhabarkan berita gaib, yang berita ini akan terjadi di masa yang akan datang. Kalau kita mengamati perkembangan dunia modern selama ini, tentu kita akan menyaksikan bagaimana orang-orang kafir menguasai ilmu pengetahuan dan apapun yang bersifat duniawi, sedangkan dalam urusan akhirat, agama dan suluk, mereka benar-benar bodoh dan cuek akan hal itu (al-Asas fi al-Tafsir, 8/4256).
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kemampuan mereka dalam hal sains dan teknologi merupakan perkara yang sudah dinash dalam Al-Qur’an, sehingga tidak perlu disesali secara berlebihan. Sikap yang bijak bagi kita sebagai umat Islam ialah mengambil sains dan teknologi yang sudah mereka kembangkan secara baik dan benar, kemudian memanfaatkannya sebagai sarana untuk membantu kita dalam beribadah dan berdakwah. Tidak perlu berambisi untuk mengungguli mereka dalam teknologi, apalagi ingin mengusai dunia seisinya. Karena kita memang tidak dituntut dan diperintah untuk itu.
Kandungan ayat ini ternyata didukung pula oleh sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah,
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: Akan masuk surga beberapa kaum yang hati mereka seperti hati burung.” (HR. Muslim no. 2840)
Menurut Imam al-Qurthubi, “hati mereka seperti hati burung” maksudnya ialah hati yang bersih dari dosa, selamat dari aib dan mereka tidak memiliki pengalaman dalam urusan-urusan duniawi. Imam al-Qurthubi mampu mengartikan demikian karena sesuai pula dengan hadits lain dari Anas bin Malik,
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: Mayoritas penduduk surga adalah orang-orang yang lugu”
~ HR. Al-Bazzar dalam al-Musnad (2/411), al-Thahawi dalam Musykil al-Atsar (4/121), Ibn ‘Adi dalam al-Kamil (3/313), al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (1367), Ibn Asakir dalam Tarikhnya (12/108) dan al-Dzahabi dalam al-Siyar (3/303). Hadits ini dinyatakan shahih oleh al-Qurthubi dalam Tafsirnya (13/115) dan al-Tadzkirah (815). Akan tetapi, menurut al-Hafidz al-Suyuthi, hadits tersebut adalah dlo’if dan diamini pula oleh al-Hafidz al-Munawi (Faidh al-Qadir, 6/460).
Al-bulhu sendiri diartikan sebagai orang yang tidak pandai dalam urusan duniawi (Ihya’ Ulum al-Din, 3/18). Walaupun ada pula sebagian ulama’ yang mengartikan lebih detail, yaitu orang-orang yang berwatak baik, lupa bahkan tidak mengetahui keburukan, serta hatinya bersih dari perbuatan tipu muslihat maupun tipu daya (Faidl al-Qadir, 2/79; Tafsir al-Qurthubi, 13/115). Mereka itu berwatak lugu dan tidak banyak tingkah.
Walaupun begitu, hal ini bukan bearti Islam tidak menganjurkan umatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu sains dan teknologi. Melainkan sebaliknya, Islam tetap menuntut umatnya untuk memikirkan dan mengamati alam raya sebagai tanda kekuasaan-Nya. Bahkan Imam al-Ghazali menggolongkan ilmu-ilmu ini sebagai fardlu kifayah (kewajiban kolektif) untuk dipelajari. Akan tetapi, dengan usaha, semangat dan ambisi setinggi apapun, umat Islam tetap akan kalah dalam ilmu duniawi dari orang-orang non-Islam. Karena yang demikian merupakan nash bahkan mukjizat yang telah dikabarkan dalam Al-Qur’an. Jadi, enjoy saja bukan?
Referensi
- Wikipedia.org/Daftar_penerima_Nobel
- Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), (tahkik) Ahmad Muhammad Syakir, Mu’assasah al-Risalah, 1420 H
- Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Ibn Katsir), Imam Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurasyi (w. 774 H), (tahkik) Muhammad Husein Syamsuddin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1419 H
- Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an atau Tafsir al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H), Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, 1384 H
- Al-Asas fi al-Tafsir, Syeikh Sa’id Hawwa (w. 1409 H), Dar al-Salam, Kairo, 1424 H
- Shahih al-Muslim, Imam Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (w. 261 H), (tahkik) Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Beirut
- Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, Zainuddin Muhammad Abdurra’uf al-Munawi (w. 1031 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, Mesir, 1356 H
- Ihya’ Ulum al-Din, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), Dar al-Ma’rifah, Beirut
0 comments:
Post a Comment