Rasululloh shollallohu alaihi wasallam dilahirkan di tengah-tengah Bangsa Arab sekitar tahun 570 M. Pada saat itu, di dunia terdapat dua bangsa besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi. Selain itu, ada pula Yunani dan India.
Kala itu, Persia menjadi tempat pertarungan berbagai pandangan agama dan filsafat. Para penguasanya menganut Agama Zoroaster (الزرادشتية), dimana salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad kkelima Masehi menikahi putri kandungnya sendiri.
Selain itu, di Persia juga terdapat aliran Mazdakiah. Salah satu ajarannya ialah mengahalalkan semua wanita dan harta yang ada di dunia ini, atau dengan kata lain manusia adalah milik bersama, sebagaimana air, api dan harta.
Sementara itu, imperialisme Romawi mencengkeram kuat. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi muncul dalam bentuk pnindasan dan pajak yang mencekik rakyat. Salah satu misi yang mereka gaungkan adalah menyebarkan jaran Kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan mereka.
Adapaun Yunani kala itu masih tenggelam dalam tahayul dan mitologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang tidak bermanfaat. Sementara itu, India mengalamai kemunduran luar biasa dalam bidang agama, akhlak, dan sosial.
Di tengah hiruk-pikuk itu, semenanjung Arab pada saat itu adalah kawasan yang tenang karena terhindar dari semua bentuk kekacauan yang menyebar di sekitarnya. Penduduk Arab kala itu tidak mengenyam kemewahan dan peradaban menjulang, seperti yang diraih Persia dan menjadikan mereka terperosok ke dalam kehancuran. Selain itu, mereka juga tidak disibukkan dengan berbagai bentuk paham amoral yang menghancurkan akhlak. Bangsa Arab kala itu tidak memiliki kepongahan atau kesombongan seperti militer Romawi yang membuat mereka tidak berhenti mencaplok wilayah-wilayah di sekitarnya. Mereka juga tidak memiliki kekayaan filsafat-dialetika seperti bangsa Yunani yang mengubah mereka menjadi bangsa yang dikuasai takhayul dan mitos.
Pada saat itu, Arab tak ubahnya “bahan baku” yang belum diolah dan diubah bentuk. Di tengah masyarakat yang masih murni inilah, fitrah kemanusiaan tetap terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri mewarnai kehidupan masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapatkan pelita yang menerangi jalan untuk mencapai keluhuran itu. Mereka hidup di tengah gelapnya KEJAHILIAHAN. Karena ketidaktahuan itulah, akhirnya mereka banyak yang tersesat. Mereka tega membunuh anak-anak perempuan dengan dalih menjaga kehormatan. Mereka rela mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka juga tak segan untuk saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri.
Sedangkan secara geografis, Semenanjung Arab terletak tepat di antara semua bangsa yang tengah bergejolak. Siapa pun yang melihat Semenanjung Arab pasti akan melihat bahwa wilayah ini memang terletak tepat di tengah-tengah dua peradaban besar: peradaban Barat yang materialis dan peradaban spiritual-khayali (bersifat khayalan) yang berpusat di Timur, seperti India, Cina dan sekitarnya. Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia.
Bahkan di kitab-kitab Taurot, Injil, Yunani serta Romawi, Arab lebih dikenal dan dicatat sebagai al-A’rob yang bearti penghuni padang sahara (baduwi). Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Rasulullah SAW lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Jika telah kita ketahui kondisi bangsa Arab di jazirah Arab sebelum Islam dan kondisi ummat-ummat lain di sekitarnya, maka dengan mudah kita dapat menjelaskan hikmah Ilahiyah yang telah berkenan menentukan jazirah Arabia sebagai tempat kelahiran Rasulullah SAW dan kerasulannya dan mengapa bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa cahaya dakwah kepada dunia menuju agama Islam yang memerintahkan seluruh manusia di dunia ini agar menyembah Allah SWT semata.
Jadi bukan seperti dikatakan oleh sebagian orang yang berpendapat bahwa pemeluk agama batil dan pemuja peradaban palsu akan sulit diluruskan dan diarahkan karena mereka memandang baik kerusakan yang menjangkiti diri mereka bahkan membanggakannya. Sedangkan orang-orang yang masih hidup dalam fase pencarian, mereka tidak akan mengingkari kebodohan dan tidak akan membanggakan peradaban dan kebudayaan yang mereka sendiri belum mencapainya. Dengan demikian mereka lebih mudah disembuhkan dan diarahkan. Ini tentu bukan hikmah ilahiyah yang kita maksud.
Hikmah terpilihnya Semenanjung Arab ini sama dengan hikmah dijadikannya Rasulullah SAW seorang ummi, tidak bisa menulis dengan tangan kanannya, menurut istilah Allah, dan tidak pula membaca. Bagi Alloh, demikian itu bisa jadi agar manusia tidak ragu terhadap kenabiannya, dan agar mereka tidak memiliki banyak sebab keraguan terhadap dakwahnya.
Adalah termasuk kesempurnaan hikmah Ilahiyah, jika bi’ah (lingkungan) tempat diutusnya Rasulullah, dijadikan juga sebagai bi’ah ummiyah (lingkungan yang ummi), bila dibandingkan dengan ummat-ummat lainnya yang ada disekitarnya, yakni tidak terjangkau sama sekali oleh peradaban-peradaban tetangganya. Demikian pula sistem pemikirannya, tidak tersenuth sama sekali oleh filsafat-filsafat membingungkan yang ada di sekitarnya.
Seperti halnya akan timbul keraguan di dada manusia apabila mereka melihat Nabi saw seorang terpelajar dan pandai bergaul dengan kitab-kitab, sejarah ummat-ummat terdahulu dan semua peradaban negara-negara sekitarnya. Dan dikhawatirkan pula akan timbul keraguan di dada manusia manakala melihat munculnya dakwah Islamiyah di antara dua ummat yang memiliki peradaban budaya dan sejarah seperti Persia, Yunani ataupun Romawi. Sebab orang yang ragu dan menolak mungkin akan menuduh dakwah Islam sebagai mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran-pemikiran filosof yang akhirnya melahirkan peradaban yang unik dan perundang-undangan yang sempurna.
Selain itu ada pula hikmah-hikmah yang tidak tersembunyi bagi orang yang mencarinya, antara lain:
1. Sebagainana telah diketahui Allah menjadikan Baitul-Haram sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman dan rumah ynag pertama kali dibangun bagi mausia untuk beribadah dan menegakkan syi’ar-syi’ar agama. Allah juga telah menjadikan dakwah bapak para Nabi, Ibrahim As, di lembah tersebut. Maka semua itu merupakan kelaziman dan kesempurnaan, jika lembah yang diberkati ini juga menjadi tempat lahirnya dakwah Islam yang notabene, adalah millah Ibrahim dan menjadi tempat diutus dan lahirnya pemungkas para Nabi. Bagaimana tidak, sedangkan dia termasuk keturunan Nabi Ibrahim As.
2. Secara geografis Jazirah Arabia sangat konduktif dan strategis untuk mengemban tugas dakwah seperti ini. Karena jazirah ini terletak, sebagaimana telah kami sebutkan, di bagian tengah ummat-ummat yang ada di sekitarnya. Posisi geografis ini akan menjadikan penyebaran dakwah Islam ke semua bangsa dan negara di sekitarnya berjalan dengan gampang dan lancar.
3. Sudah menjadi kebijaksanaan Allah SWT untuk menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa dakwah Islam, dan media langsung untuk menterjemahkan Kalam Allah dan penyampaiannya kepada kita. Jika kita kaji karakteristik semua bahasa lalu kita bandingkan antara satu dengan lainnya, niscaya akan kita temukan bahwa bahasa Arab banyak memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Maka, sudah sepatutnya jika bahasa Arab dijadikan bahasa utama bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Referensi
- Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah karya al-Syahid Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi
- Al-Sirah al-Nabawiyah karya Syeikh Abu al-Hasan al-Nadwi
- Hayatu Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallah karya Muhammad Husein Haikal
0 comments:
Post a Comment