[1] Tentu sudah banyak yang tahu jikalau kita diperbolehkan untuk mengerjakan salat sunnah di kendaraan saat bepergian. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar dan Jabir, serta riwayat yang lainnya. Kebolehan ini berlaku saat bepergian jauh maupun dekat, dalam arti tidak harus berupa bepergian yang denganya diperbolehkan mengqoshor salat. Cara pengerjaannya pun boleh dilakukan dengan cara sebisanya. Hanya saja ada sedikit catatan yang perlu diperhatikan, yaitu (1) bepergiannya termasuk bepergian yang diperbolehkan (bukan maksiat), (2) jika memungkinkan dan mudah untuk menghadap kiblat, maka diharuskan saat takbirotul ihram untuk menghadap kiblat, dan (3) jika memungkinkan dan mudah untuk mengerjakan rukuk dan sujud secara sempurna, maka wajib keduanya dikerjakan secara sempurna. Dan perlu diketahui lagi bahwa hukum tersebut tidak berlaku saat bepergian memakai kapal laut (safinah), karena menurut pandangan para Ulama, tidak ada kesukaran (masyaqqah) dalam kasus kapal laut ini. Sehingga diwajibkan bagi para penumpang kapal untuk menghadap kiblat dan menyempurnakan semua rukun, baik saat kapalnya berhenti maupun saat berlayar. Walaupun diperbolehkan bagi para awak kapal untuk tidak menghadap kiblat dan tidak harus menyempurnakan rukun-rukun salat saat kapalnya berlayar. Atau dengan kata lain, hukum bagi para awak kapal sama seperti kasus salat sunnah di kendaraan.
Referensi utama:
1) Al-Iqna’ fi halli alfadzi Abi Suja’ (1/126), karya Syeikh Syamsuddin al-Khothib al-Syirbini (w. 977 H)
2) Tuhfah al-Muhtaj fi syarh al-Minhaj (1/486-490), karya Syeikhul Islam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)
3) Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab (3/232-233), karya al-Imam Abu Zakaria al-Nawawi (w. 676 H)
***
[2] Kemudian yang menjadi persoalan, bagaimana dengan salat wajib yang dikerjakan di kendaraan, apakah bisa disamakan seperti salat sunnah. Para ulama’ ahli fiqh (fuqoha’) klasik sudah membahasnya dengan sangat detail di karya-karya mereka. Para fuqoha' itu membedakan persoalan ini kedalam dua kasus yang berbeda, yaitu (1) salat wajib di kapal laut (safinah), dan (2) salat wajib di kendaraan darat (al-dabbah). Untuk kasus pertama, para ulama’ ahli fiqh -terutama madzhab Syafi’i- menyatakan bahwa salat wajib di kapal laut (safinah) hukumnya boleh dan sah asal memenuhi syarat dan rukun salat seperti biasanya, misalnya harus menghadap kiblat, menyempurnakan semua rukun-rukunnya, dan yang lainnya. Sedangkan untuk kasus kedua -yakni di kendaraan darat-, para ulama’ memerinci kedalam dua kondisi yang berbeda, yaitu: jika kendaraannya dalam kondisi berhenti, maka menurut mayoritas ulama’ hukumnya boleh dan sah karena dianggap seperti salat di tempat biasa. Sedangkan jika dalam kondisi bergerak, maka menurut mayoritas ulama’ ahli fiqh hukumnya tidak sah, karena dianggap tidak istiqror (menetap), dalam arti gerakan kendaraan tersebut melekat pada dirinya. Hanya saja jika dalam keadaan mendesak, misalnya waktu salat sudah mau habis sedangkan dia masih di kendaaran, maka dia diperbolehkan mengerjakan salat di kendaraan dengan sebisanya sebagai shalat li-hurmatil-waqti, dimana dia masih berkewajiban mengulang salat tersebut (i'adah). Perlu diketahui bahwa termasuk kategori salat wajib adalah salat mayit dan salat yang dinazari.
Referensi utama:
1) Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab (3/242), karya al-Imam Abu Zakaria al-Nawawi (w. 676 H)
2) Syarh al-Nawawi ala Shohih Muslim (5/210), karya al-Imam Abu Zakaria al-Nawawi (w. 676 H)
3) Fath al-Wahhab bi Syarh Manhaj al-Thullab (1/44), karya Syeikhul Islam Zakaria al-Anshori (w. 926 H)
4) Al-Minhaj al-Qowim Syarh al-Muqoddimah al-Hadlromiyah (1/117), karya Syeikhul Islam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H)
***
[3] Persoalan berikutnya yang belum dibahas adalah mengerjakan salat wajib di pesawat terbang. Pada masa ulama’-ulama’ fiqh klasik belum ditemukan teknologi untuk menciptakan sebuah pesawat, sehingga belum ada fatwa atau kajian secara eksplisit tentang hukum salat di pesawat. Akan tetapi, dengan cara mengilhaqkan dengan beberapa kasus yang sudah dibahas di kitab-kitab fiqh karya mereka (al-kutub al-mu’tabaroh), ulama’-ulama’ pada masa berikutnya -termasuk para kiai Nusantara- akhirnya sudah banyak yang mengeluarkan fatwa terkait dengan masalah tersebut. Salah satu dari mereka ialah Syeikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani al-Makki (1352 – 1414 H) -seorang mufti Mekah dan guru dari para kiai Nusantara- menfatwakan bahwa salat wajib di pesawat terbang hukumnya tidak sah. Sehingga hanya boleh dikerjakan dikala mendesak dan nanti wajib diulangi (i’adah). Fatwa ini berdasarkan beberapa keterangan dari kitab-kitab fiqh al-mu’tabaroh yang menyatakan bahwa salah satu syarat bagi orang yang salat adalah harus menetap (istiqror) diatas bumi, baik secara langsung atau dengan perantara, berupa salat fardhu ataupun salat sunah, dan baik orang tersebut salatnya dalam posisi berjalan, naik kendaraan atau diangkat. Dalam semua keadaan tersebut disyaratkan harus menempel dan menetap diatas bumi meskipun diatas hewan tunggangan, diatas tempat tidur yang diangkat diatas pundak beberapa orang, atau ia sedang berada dipuncak gunung atau bahkan diatas ranting sebuah pohon. Sedangkan apabila ia mengawang diangkasa maka salatnya tidak sah meskipun ia berada diatas suatu benda seperti berada didalam kotak, sebab ia tidak dikatakan menetap (istiqror) meskipun dengan perantara.
Referensi utama:
1) Asna al-Matholib fi Syarh Roudl al-Tholib (1/136), karya Syeikhul Islam Zakaria al-Anshori (w. 926 H)
2) Hasyiah al-Romly al-Kabir ala Asna al-Matholib (1/136), karya Syeikh Syihabuddin Ahmad al-Romly (w. 957 H)
3) Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab (3/260), karya al-Imam Abu Zakaria al-Nawawi (w. 676 H)
Sekian, wa-Allahu-A'lam bis-Shawab.
@Abdul Latif Ashadi
0 comments:
Post a Comment