Setelah muncul fenomena Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang notabene seorang nonmuslim kemudian secara resmi diusung menjadi Calon Gubernur pada PILKADA DKI Jakarta (masa bakti 2017-2022), maka muncullah banyak sekali komentar bahkan yang bernuansa fatwa –walaupun bukan berasal dari ahlinya- yang berseliweran di media cetak maupun media sosial. Untuk menjernihkan pemahaman dan pengertian dalam mendudukkan masalah dengan semestinya, perlu kiranya kami memuat kembali fatwa resmi Ulama’-ulama’ NU tentang masalah terkait yang sebenarnya sudah sejak dulu -sebelum ketenaran Ahok- pernah dibahas secara kolektif dan dengan sangat hati-hati.
Fatwa tentang menguasakan urusan kenegaraan kepada orang nonmuslim pernah dikeluarkan oleh PBNU lewat Keputusan Bahtsul Masa’il al-Diniyah al-Waqi’iyyah pada Muktamar ke-30 NU di PP Lirboyo Kediri Jawa Timur yang diselenggarakan pada tanggal 21-27 November 1999 M. Kemudian pada Minggu kemarin, tepatnya pada tanggal 25 September 2016 M, PCNU Kota Surabaya mengkaji dengan lebih gamblang tentang bagaimana hukumnya seorang muslim memilih kandidat pemimpin nonmuslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden. Berikut kami sampaikan hasil dari kedua Bahtsul Masa’il tersebut secara lengkap.
Semoga ada manfaatnya.
[1]
KEPUTUSAN BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH
MUKTAMAR XXX NU
DI PP. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR
TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999
A. Pertanyaan
Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam?
B. Jawaban
Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:
1. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan.
2. Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.
3. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa manfaat.
Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.
C. Dasar Pengambilan Hukum
1. Al-Quran Al-Karim
القرأن الكريم
"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS: An-Nisa’: 141)
2. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 72-73
تحفة المحتاج في شرح المنهاج و حواشي الإمام عبد الحميد الشرواني
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah sangat terpaksa untuk melakukan itu.”
…”Ucapan pada kitab Matn ‘tidak boleh meminta bantuan dst’ artinya diharamkan melakukan itu (dari Syeikh Ibn Qosim al-Abbadi). Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj terdapat redaksi: secara dzohir meminta bantuan orang kafir tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam kitab al-Tatimmah disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan kepada orang kafir jika memang darurat, bahkan Imam al-Adzro’i dan yang lainnya menyatakan pendapat inilah yang dijadikan wajh (pegangan)”
3. Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 73
حواشي الإمام عبد الحميد الشرواني على تحفة المحتاج
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi walaupun dikarenakan ia takut kepada Hakim misalnya, maka boleh menyerahkannya karena dharurat ingin menegakkan kemaslahatan. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya penguasaan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”
4. Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi, Jilid IV, h. 156
شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين و حاشيته للشيخ أحمد سلامة القليوبي (1069 هـ)
“Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram memberi kekuasaan kepada orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena dharurat.”
5. Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 50 dan 54
الأحكام السلطانية للإمام أبو الحسن علي بن محمد بن محمد بن حبيب البصري البغدادي، الشهير بالماوردي (المتوفى: 450هـ)
[2]
Hukum Memilih Pemimpin NonMuslim
Keputusan Bahtsul Masa’il PCNU Kota Surabaya, 25 September 2016
MUSHOHIH
1. KH. Ahmad Asyhar Shofwan M.Pd.I.
2. KH. Mas Mahfudz
PERUMUS
1. KH. Ali Maghfur Syadzili Isk., S.Pd.I
2. KH. Sholihin Hasan, M.H.I.
3. K. Ma’ruf Khozin
4. Ust. Luqmanul Hakim, S.Pd.I
5. Ust. Nur Hadi, S.H.I.
6. Ust. Ahmad Muntaha AM
7. Ust. Mas Gholib Basyaiban
Sistem demokrasi dan pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia memungkinkan semua orang berkompetisi menjadi kandidat pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga terurailah monopoli etnik, ras maupun agama untuk menduduki tampuk kepempimpinan.
Namun demikian, secara riil hal ini memunculkan problem tersendiri dan menjadi perbincangan hangat ketika ci suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama atau merupakan suku/ras tertentu, sementara bakal calon pemimpin yang ada dan berkemungkinan memenangkan suksesi justru dari penganut agama atau suku/ras lainnya. Semisal daerah mayoritas muslim, justru yang kuat ternyata dari nonmuslim. Selain itu, adapula seorang muslim yang munkin saja secara politik lebih dekat dengan nonmuslim sehingga menjadi tim suksesnya.
Pertanyaan
- Apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin nonmuslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden?
- Apakah hukum memilih calon wakil rakyat (DPRD/DPR, DPD) sama hukumnya dengan memilih kandidat pemimpin nonmuslim?
- Apakah seorang muslim dibenarkan menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat nonmuslim (eksekutif dan legislatif), karena kedekatan politik dan pertimbangan politik lain yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya?
- Pembahasan permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan merusak hubungan lahiriah (mu’amalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan nonmuslim di Indonesia. Namun benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad) bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.
- Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Muktamar NU Ke-30 di PP Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, 21-27 November 1999. Namun keputusan tersebut tidak secara terang-terangan mencantumkan, bahwa nonmuslim yang menangani urusan kaum muslimin dalam kondisi darurat wajib harus dicegah agar tidak sampai menguasai dan mendominasi (isti’la’) satu orang pun dari kaum muslimin. Sebab itu, keputusan dalam pembahasan ini secara prinsip tidak bertentangan dengan keputusan Muktamar NU tersebut.
Jawaban 1
Hukum memilih pemimpin nonmuslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah haram. Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 51)
Beberapa Pertimbangan:
- Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan nonmuslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong nonmuslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum. Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibromallisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada nonmuslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin nonmuslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya—baik dalam ucapan maupun perbuatan—terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.
- Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin (1) terdapat khilaf, seperti menjadikan nonmuslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat—yang lemah—yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin nonmuslim. Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas nonmuslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada. Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin nonmuslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar. Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.
- Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.
- Asumsi memilih pemimpin nonmuslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.
- Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: “Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim”, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat beberapa ulama, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin nonmuslim.
- Asumsi bahwa penafsiran kata ‘auliya dengan makna pemimpin/penguasa—dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan nonmuslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin nonmuslim, tidak sepenuhnya benar. Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada nonmuslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafi’i, Ma’alim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.
[1] تحرير الأحكام في تدبير أهل الإسلام لابن جماعة الشافعي (ص 146-147)
[2] معالم القربة في طلب الحسبة لابن الأخوة القرشي الشافعي(1) (ص 43)
[3] سراج الملوك للطرطوشي المالكي (ص 111)
[4] تحفة المحتاج وحواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
[5] تفسير آيات الأحكام (ج 1 / ص 181)
[6] تحفة المحتاج وحواشي الشرواني (ج 9/ ص 298-299)
[7] رد المحتار – (ج 4/ ص 211)
[8] الأحكام السلطانية (ج 1 / ص 43)
[9] غياث الأمم (ص 114)
[10] روضة الطالبين (ج 6 / ص 367)
[11] حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
[12] قرة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل الزين، ص 199
[13] التبر المسبوك في نصيحة الملوك للغزالي (ج 1 / ص 16-17)
[14] مفاتيح الغيب – (ج 18 / ص 61)
[15] سراج الملوك للطرطوشي المالكي (ج 1 / ص 41-43)
Jawaban 2
Hukum memilih calon wakil rakyat nonmuslim (DPRD/DPR—yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan—, dan DPD—yang memiliki fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan—) sama dengan hukum memilih pemimpin nonmuslim yaitu haram, karena termasuk memberi kuasa nonmuslim atas kaum muslimin dan pemilih tidak mampu mencegahnya dari mengkhianati kepentingan kaum muslimin.
Referensi
[1] حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
[2] حواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
[3] الفقه الإسلامي وأدلته (ج 8 / ص 342)
Jawaban 3
Orang Islam tidak dibenarkan (haram) menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat nonmuslim, sebab termasuk menolong kemungkaran dan menjalin hubungan sosial dengan nonmuslim yang diharamkan.
Referensi
[1] الجامع لأحكام القرآن (ج 6 / ص 46)
[2] بريقة محمودية في شرح طريقة محمدية وشريعة نبوية (ج 5 / ص 198)
[3] قواعد الأحكام في مصالح الأنام – (ج 1 / ص 133)
[4] مفاتيح الغيب (ج 8 / ص 10-11)
0 comments:
Post a Comment