1. Setelah selesai berihram untuk Haji atau Umroh di miqot masing-masing, disunnahkan untuk langsung menuju Mekah.
2. Saat memasuki tanah haram, disunnahkan membaca do’a berikut ini dengan sebisa mungkin disertai khusyu’ dan tunduk/tawadlu’ dalam hatinya serta badannya.
3. Setelah sampai di Kota Mekah, disunahkan mandi di daerah Dzi Thuwa (suatu dataran rendah di Kota Mekah) jika melewatinya, atau di daerah lain jika tidak melewatinya. Mandi kali ini dikerjakan dengan niat mandi memasuki Kota Mekah dan disunnahkan bagi siapapun yang memasuki kota suci tersebut, termasuk wanita yang haidh sekalipun.
4. Disunnahkan saat memasuki Kota Mekah lewat daerah Tsaniah Kada’, sedangkan saat pulang lewat daerah Tsaniah Kudan.
5. Terdapat perbedaan mana yang lebih utama antara berjalan dan berkendara saat memasuki Mekah. Menurut pendapat Ashoh, yang lebih utama adalah berjalan kaki, bahkan ada yang mengatakan lebih utama lagi dengan telanjang kaki jika tidak khawatir terkena najis dan tidak merasa menderita.
6. Sangat dianjurkan ketika memasuki Kota Mekah untuk tidak berdesakan dan ketika didesak orang lain mampu bersikap kalem dan penuh asih. Serta berusaha menghadirkan akan keaguangan tanah yang sedang atau akan dilewati.
7. Menurut pendapat yang paling shohih (Madzhab Syafi’i), disunnahkan (tidak sampai wajib) bagi siapapun diluar Mekah untuk tidak memasuki Kota Mekah kecuali dalam keadaan berihram (haji dan/atau umroh). Jika tidak dalam keadaan ihram, maka hukumnya makruh. Walaupun menurut Imam Malik dan Ahmad, hukumnya wajib berihram. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jika rumahnya dekat dengan miqot, maka boleh masuk Mekah dengan tanpa ihram, jika jauh maka tidak boleh.
8. Disunnahkan ketika melihat Ka’bah untuk mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a. Karena do’a seorang muslim saat melihat Ka’bah termasuk mustajab. Salah satu do’a yang dianjurkan adalah:
9. Sangat dianjurkan ketika melihat Ka’bah untuk sebisa mungkin menghadirkan hatinya supaya bisa khusyu’, merasa hina dan merendah. Seperti itulah kebiasaan para orang-orang sholih dan hamba-hamba Allah yang arif, karena dengan melihat Ka’bah akan menjadikan ingat dan rindu kepada Pemiliknya. Seorang wali besar yang bernama Syeikh Abu Bakr Al-Syibli pernah sampai pingsan saat melihat Ka’bah.
10. Disunnahkan untuk tidak menyewa tempat, menurunkan barang atau yang lain sebelum mengerjakan Thowaf.
11. Disunnahkan saat memasuki Masjid Al-Haram untuk melewati pintu Bani Syaibah.
12. Disunnahkan bagi wanita yang cantik untuk melaksanakan Thowaf saat kondisi masjid sepi, misalnya pada malam hari.
13. Saat memasuki Masjid al-Haram disunnahkan untuk mendahulukan kaki kanan seraya membaca:
Sedangkan saat keluar Masjid, mendahulukan kaki kiri dan membaca do’a seperti diatas, dengan hanya mengganti yang terakhir dengan:
14. Dianjurkan untuk tidak sholat Tahiyyat Masjid melainkan langsung menuju Hajar Aswad untuk memulai Thowaf Qudum. Akan tetapi, jika khawatir akan ketinggalan Sholat Maktubah, Sholat Witir, Sholat Sunnah Fajr atau yang lain dari sholat-sholat Sunnah Rawatib atau ketinggalan sholat berjamaah, maka lebih mendahulukan itu semua baru kemudian Thowaf.
Thowaf dan Tata Caranya
Ketika jamaah Haji/Umroh sudah memasuki Masjid al-Haram, maka diharapkan langsung menuju Hajar Aswad. Disunnahkan mencium Hajar Aswad dengan muka/wajah, dengan syarat tidak menyakiti saat berdesakan dengan jamaah yang lain. Setelah itu diteruskan dengan mengusap dengan tangan kanan kemudian menciumnya dengan tanpa suara, dan lalu bersujud di depannya. Disunnahkan untuk mengulang praktik ini (mencium dan sujud) sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah itu baru mengerjakan Thowaf.
Sebelum membahas tata cara Thowaf, perlu diketahui bahwa Thowaf ada 4 (empat) macam:
1. Thowaf Qudum
Memiliki beberapa nama, diantaranya: Thowaf Qudum, Qodim, Wurud, Warid dan Thowaf Tahiyyat. Hukumnya sunnah dan tidak wajib. Ini juga sesuai pendapat Imam Abu Hanifah, Ibn al-Mundzir, salah satu pendapat Imam Malik dan Madzhab Hanabilah. Menurut Abu Tsaur, kalau tidak melaksanakan Thowaf Qudum, maka membayar Dam.
Thowaf ini hanya dibebankan bagi yang berihrom Ifrod atau Qiron yang kedua-duanya datang dari luar Mekah. Sedangkan bagi yang ihram dari dalam Mekah atau ihram umroh, maka tidak ada kesunahan Thowaf Qudum.
2. Thowaf Ifadloh
Memiliki beberapa nama juga, diantaranya: Thowaf Ifadloh, Ziaroh, Fardlu, Rukun dan Thowaf Shodar. Hukumnya termasuk rukun dari haji, sehingga harus ada dalam haji dan tidak bisa diganti dengan dam atau yang lain.
3. Thowaf Wada’
Hukumnya wajib menurut pendapat Ashoh dan kebanyakan Ulama’, termasuk Hasan al-Bashri, Hammad, al-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumulloh ta’ala. Sedangkan menurut Imam Malik, Dawud al-Dzohiri dan Ibn al-Mundzir: hukumnya sunnah.
4. Thowaf Sunnah
Thowaf yang dikerjakan secara tersendiri, tidak termasuk ketiga thowaf sebelumnya. Karena bagi orang yang sedang di Mekah, disunnahkan untuk thowaf sebanyak-banyaknya.
Syarat & Kewajiban Thowaf
1. Sucinya badan, pakaian dan tempat dari hadats dan najis, serta menutup aurot.
Menutup aurot -saat mampu- merupakan syarat Thowaf menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, tidak disyaratkan menutup aurot, bahkan tidak disyaratkan pula suci dari hadats maupun najis.
Termasuk cobaan yang merata pada masa kini adalah berdesak-desakannya antara laki-laki dan perempuan. Maka sudah seyogyanya bagi laki-laki untuk tidak mendesak perempuan dan sebaliknya perempuan jangan mendesak laki-laki. Kemudian jika terjadi berdesakan dan akhirnya bersentuhan antara kulit laki-laki dengan perempuan, maka ada khilafiyah (perbedaan) diantara para Ulama’ apakah wudlunya batal atau tidak. Madzhab Syafi’i menyatakan batal -dalam segala kondisi- selama tidak ada ha’il (penghalang) dan bukan mahrom. Menurut Madzhab Imam Malik dan Ahmad, jika disertai syahwat maka batal, dan sebaliknya jika tidak syahwat maka tidak batal. Sedangkan menurut Madzhab Abu Hanifah, wudlunya bisa batal jika sampai alat kelaminnya tegang (Rohmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah).
2. Di dalam Masjid al-Haram, walaupun ada pemisah/penghalang antara Ka’bah dengan dirinya.
3. Secara sempurna berjumlah 7 (tujuh) kali putaran. Jika terjadi keragu-raguan di saat sedang Thowaf, maka diambil yang lebih sedikit. Sedangkan jika keragu-raguan itu muncul setelah selesai Thowaf, maka tidak ada masalah.
4. Tartib, dalam arti memulai Thowaf dari Hajar Aswad (pojok tenggara Ka’bah/sebelah selatan pintu ka’bah) dan posisi Ka’bah selalu berada di sebelah kirinya.
Pratiknya ialah: Berdiri menghadap Ka'bah disamping Hajar aswad pada titik lintasan garis lurus dengan rukun Yamani, sekira seluruh bagian Hajar aswad itu berada disebelah kanannya, kemudian niat thowaf, lalu berjalan dengan menghadap Hajar Aswad sampai dia habis dari hadapan. Kemudian hadap kanan dan menjadilah Ka'bah berada disebelah kirinya. Selama prosesi thowaf, sama sekali tidak boleh menghadap ke Ka'bah kecuali pada permula'an ini. Barulah mengitari Ka’bah dengan selalu menjadikan Ka’bah berada di sebelah kirinya sampai 7 (tujuh) kali.
5. Seluruh badannya harus selalu berada di luar Ka’bah seluruhnya. Perlu dicatat bahwa Hijr Isma’il dan pondasi yang mengelilingi Ka’bah termasuk bagian dari Ka’bah.
6. Niat Thowaf, jika Thowafnya itu merupakan ibadah tersendiri, dalam arti selain Thowaf Haji dan/atau Umroh. Sedangkan jika Thowafnya itu termasuk bagian dari Haji/Umroh, maka tidak diwajibkan berniat walaupun lebih baik (sunnah) berniat. Karena niat Haji/umroh sudah mencakup Thowaf, Sa’i, Wukuf dan yang lainnya. Hal ini sesuai pula dengan pendapat al-Tsauri dan Abu Hanifah. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibn al-Mundzir, Thowafnya itu tidak sah jika tanpa niat karena termasuk ibadah, seperti halnya ibadah yang lain yang memerlukan niat (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab).
Kesunahan Thowaf
• Thowaf dikerjakan dengan berjalan kaki.
• Idlthiba’ sampai selesai Thowaf (bagi pria), yaitu meletakkan bagian tengah selendang di bawah ketiak kanan dan kedua ujungnya di atas pundak kiri.
• Niat Thowaf, saat thowaf yang termasuk bagian dari nusuk (haji/umroh), seperti keterangan sebelumnya.
• Romal (berjalan cepat) pada 3 putaran awal, bahkan lebih baik agak menjauhi Ka’bah asal bisa romal, daripada dekat dengan Ka’bah tapi tidak bisa romal. Jika tidak memungkinkan romal, maka masih disunnahkan untuk menggerak-gerakkan badannya seakan-akan dia sedang romal. Disamping itu juga dianjurkan untuk membaca:
Sedangkan pada 4 sisa putaran, disunnahkan berjalan santai sambil membaca:
Perlu dicatat bahwa selain Thowaf Qudum, Ifadloh dan thowaf Umroh tidak disunnahkan Idlthiba’ maupun Romal.
• Mengusap, mencium dan meletakkan dahi pada Hajar Aswad pada saat melewatinya. Begitu juga disunnahkan mengusap Rukun al-Yamani dengan tanpa mencium namun cukup dengan mencium tangan yang dipakai untuk mengusap tadi. Ketika tidak memungkinkan karena keadaan berdesakan seperti pada masa-masa sekarang ini, maka cukup dengan mengusap atau memakai isyarat dengan tangan atau sesuatu yang di tangan, kemudian mencium tangan/sesuatu tadi. Akan tetapi, perlu diwaspadai jangan sampai lengan kiri tidak lurus dengan Ka’bah. Perlu dicatat juga bahwa tidak disunnahkan bagi perempuan untuk mengusap dan/atau mencium Hajar Aswad kecuali pada malam hari saat kondisinya sepi.
• Mengambil posisi yang lebih dekat ke Ka’bah, dengan catatan hanya untuk laki-laki dan tidak menyakiti pihak lain.
• Saat memulai Thowaf dan saat melewati arah Hajar Aswad disunnahkan membaca:
Sedangkan ketika diantara rukun al-Yamani dan rukun Aswad, maka sangat dianjurkan untuk berdo’a untuk dirinya, orang tuanya dan umat Islam pada umumnya. Karena pada saat itu, do’anya diamini oleh 70 ribu Malaikat. Salah satu do’a yang dianjurkan pada saat itu adalah:
Jikalau ada salah satu orang (pembimbing/petugas misalnya) yang berdo’a kemudian yang lainnya mengamini, maka itu termasuk perbuatan bagus (hasan) menurut Imam Nawawi.
Perlu diketahui bahwa menurut Imam Hasan al-Bashri, ada 15 tempat yang do’a disitu menjadi mustajab, yaitu: Saat Thowaf; di Multazam (antara Rukun Aswad dan pintu Ka’bah); di bawah Mizab (talang Ka’bah); di dalam Ka’bah; saat minum air Zamzam; di atas bukit Shofa dan Marwa; saat Sa’i; di belakang Maqom Ibrahim; di padang Arofah; di Muzdalifah; di Mina; dan saat melempar 3 Jamarot.
• Muwalah (berturut-turut) diantara 7 putaran Thowaf, walaupun menurut Imam Ahmad hukumnya wajib. Sehingga ketika memutus Thowaf karena hadats atau ikut sholat berjamaah, maka setelah selesai bisa langsung melanjutkan sisa putarannya.
• Selalu menjaga hatinya supaya tetap tawadlu’ dan khusyu’, serta menjaga adab di setiap gerakannya, pandangannya dan sikapnya secara dzohir maupun batin. Sehingga dimakruhkan untuk makan, minum, berbicara, memain-mainkan tangan, menahan kencing/air besar/kentut, terlalu lapar dan seterusnya.
• Sholat sunnah 2 rokaat setelah selesai Thowaf. Pada rokaat pertama setelah al-Fatihah membaca al-Kafirun, dan pada rokaat kedua membaca al-Ikhlas, dengan dibaca keras saat malam atau dibaca pelan saat siang hari. Disunnahkan untuk mengerjakannya di belakang maqom Ibrohim, jika tidak memungkinkan maka di Hijr Isma’il, jika tidak bisa maka di area Masjid al-Harom, jika masih tidak memungkinkan maka boleh di manapun baik di sekitar tanah Haram maupun di luar Haram. Setelah selesai sholat, sangat dianjurkan untuk berdo’a dengan do’a yang disukai baik berkaitan dengan urusan Akhirat maupun Dunia. Lebih-lebih do’a dari Kanjeng Rosul shollallohu alaihi wasallam atau do’a Nabi Adam alaihissalam.
(Do'a yang ma'tsur dari Nabi SAW)
(Do’a Nabi Adam untuk pengampunan segala dosa)
***Untuk kembali ke Bagian-1 yang berisi tentang Etika persiapan dan keberangkatan Haji; Tata cara Ihram dan Larangan-larangannya, bisa mengklik LINK ini.
0 comments:
Post a Comment