*Diedit ulang dari tulisan Tgk. Alizar Usman,
Salah satu keyakinan Islam yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala itu tidak berada di suatu tempat, tidak di langit dan tidak di bumi. Keyakinan keberadaan Allah di langit ini merupakan sebuah keyakinan sesat dan menyesatkan. Keyakinan Allah bertempat di langit berawal dari keyakinan kelompok yang sering disebut sebagai kelompok mujassimah (kelompok yang menyatakan Tuhan bersifat dengan sifat makhluk).
Pendapat Para Ulama' Besar Islam
Berikut ini kami sampaikan keterangan dari para ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bahwa Allah tidak bertempat.
1. Abd al-Qahir al-Bagdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baina al-Firaq mengatakan:
Salah satu keyakinan Islam yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala itu tidak berada di suatu tempat, tidak di langit dan tidak di bumi. Keyakinan keberadaan Allah di langit ini merupakan sebuah keyakinan sesat dan menyesatkan. Keyakinan Allah bertempat di langit berawal dari keyakinan kelompok yang sering disebut sebagai kelompok mujassimah (kelompok yang menyatakan Tuhan bersifat dengan sifat makhluk).
Pendapat Para Ulama' Besar Islam
Berikut ini kami sampaikan keterangan dari para ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjelaskan bahwa Allah tidak bertempat.
1. Abd al-Qahir al-Bagdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baina al-Firaq mengatakan:
“Telah terjadi ijmak ulama bahwa Allah Ta’ala itu tidak diliputi oleh langit dan tidak berlaku zaman atas-Nya.”
Masih dalam kitab dan halaman yang sama, untuk menguatkan pernyataan beliau di atas, al-Baghdadi mengutip perkataan Sayyidina Ali r.a. sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan arasy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk tempat zat-Nya.”
dan perkataan Sayyidina Ali r.a yang lain:
“Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang sebagaimana sebelumnya”[1]
2. Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), salah seorang ulama hadits bermazhab Hanbali menyebut dalam kitabnya Daf’u Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih sebagai berikut:
“Telah tetap di kalangan para ulama bahwa Allah Yang Maha Tinggi tidak diliputi oleh langit dan bumi dan tidak pula dihimpun oleh penjuru. Akan tetapi ditunjuk kearah langit sebagai pengagungan Dzat Maha Pencipta.”[2]
3. Mulla Ali al-Qarii (w. 1014 H), seorang ulama hadits terkenal dalam kitabnya Syarh Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, mengatakan bahwa Syeikh al-Imam Ibnu Abdussalam dalam kitabnya Hall al-Rumuz mengatakan:
“Imam Abu Hanifah mengatakan: 'Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir', karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya.”
Seterusnya Mulla Ali al-Qarii mengatakan, tidak diragukan bahwa Ibnu Abdussalam adalah seorang ulama besar dan sangat terpercaya, maka wajib berpegang pada kutipannya.[3]
4. Ibnu Hajar al-Asqalany (w. 852 H), seorang ahli hadits terkenal bermazhab Syafi’i mengatakan dalam kitabnya Fathul Baari sebagai berikut:
“Sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan untuk menetapkan-Nya, mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Zat-Nya, di mana?.”[4]
Keyakinan adanya Allah di langit bertentangan dengan penjelasan al-Asqalani di atas yang mengatakan bahwa wujud Allah tidak dapat diisyaratkan dengan kata-kata: “di mana?”. Karena langit merupakan tempat yang dapat menjadi jawaban pertanyaan “di mana”.
5. Al-Zabidi telah menukil perkataan Imam Syafi’i dalam kitabnya Ittihaf al-Saadah al- Muttaqin bi Syarh Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah ada sedangkan tempat belum ada. Lalu Dia menciptakan tempat. Dia tetap atas sifat-Nya sejak azali sebagaimana sebelum Dia menciptakan tempat. Mustahil atas-Nya perubahan dalam Dzat-Nya dan pergantian pada sifat-Nya.”[5]
6. Imam Ghazali (w. 505 H) menegaskan dalam kitab beliau yang terkenal, yaitu Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:
“Tidak menempati pada-Nya sesuatupun, Maha Suci Allah dari meliputi oleh tempat sebagaimana Maha Suci Dia dari pembatasan oleh zaman, tetapi Dia telah ada sebelum diciptakan zaman dan tempat, Dia sekarang sebagaimana ada sebelumnya.”[6]
7. Imam al-Juwaini (w. 478 H), guru dari Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab al-Isyad sebagai berikut:
“Mazhab ahlul haq dari ulama quthub sesungguhnya Allah SWT Maha Suci dari mengambil tempat dan dari dibatasi dengan arah.”[7]
8. Dalam Matan al-Aqidah al-Thahawiyah, Imam al-Thahawi al-Hanafi dalam menjelaskan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah berdasarkan akidah Abu Hanifah, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshary dan Abu Abdullah Muhammad bin Hasan al-Syaibani, beliau mengatakan:
“Allah itu tidak diliputi oleh jihat (arah) yang enam.”[8]
Mengatakan Allah bertempat di langit berarti mengi’tiqadkan Allah berada pada salah satu arah yang enam, yaitu arah atas. Dengan demikian, i’tiqad Allah bertempat di langit bertentangan dengan keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam al-Juwaini dan al-Thahawi di atas.
9. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dalam keputusan fatwanya No. 09 Tahun 2014, Tanggal 25 Juni 2014 memutuskan antara lain:
a. Mengimani bahwa zat Allah hanya di atas langit/arasy adalah sesat dan menyesatkan.
b. Mengimani bahwa zat Allah terikat dengan waktu, tempat dan arah (berjihat) adalah sesat dan menyesatkan.
Dalil-dalil yang Menegaskan Keyakinan Bahwa Allah Tidak Bertempat
1. Firman Allah Ta’ala berbunyi:
Artinya: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.(Q.S. al-Syuraa : 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Seandainya Allah mempunyai tempat seperti langit dan arah, maka akan serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian, berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan tinggi), sedangkan panjang, lebar dan tinggi merupakan sifat yang khusus terdapat pada benda yang baharu.
2. Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3, berbunyi:
Artinya: Dia (Allah) yang awal dan yang akhir (Q.S al-Hadid: 3)
Dalam ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S. al-An’am: 101, berbunyi:
Artinya: Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-An’am : 101)
Allah Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya: Allah sudah ada disaat tidak adanya sesuatupun selain Dia (H.R. Bukhari) [9]
Berdasarkan firman Allah dan hadits di atas, maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat (langit) dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baharu (makhluk). Seandainya Allah berada pada suatu tempat (langit), maka Allah tentu menyerupai makhluq, yakni berpindah dari azal kepada langit yang datang kemudian (yang diciptakannya).
3. Firman Allah Ta’ala berbunyi:
Artinya: Katakanlah: "Milik siapakah apa yang ada di langit dan di bumi." Katakanlah: "Milik Allah." (Q.S. al-An’am: 12)
Berdasarkan ayat ini, maka semua yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah Ta’ala. Karena itu, apabila kita mengatakan Allah bertempat di langit, maka Allah itu menjadi milik Allah juga. Tentu ini mustahil terjadi, karena Allah tidak mungkin memiliki diri-Nya sendiri.
4. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam doanya:
Artinya: Ya Allah, Engkaulah Zat Yang Maha Awal, maka tiada sesuatupun sebelum-Mu. Engkaulah Zat Yang Maha Akhir, maka tiada sesuatupun setelah-Mu. Engkaulah Zat Yang Maha Dzahir maka tiada sesuatupun di atas-Mu dan Engkaulah Zat yang Maha Bathin maka tiada sesuatu di bawah-Mu. Ya Allah lunasilah hutangku dan kayakan aku dari kefakiran. (H.R. Muslim)[10]
Dalam kitab al-Asma’ wa al-Shifat, al-Baihaqi menyebutkan bahwa sebagian ulama telah menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa Allah Ta’ala tidak bertempat. Penjelasannya, apabila di atas Allah tidak ada sesuatupun dan di bawah-Nya juga tidak ada sesuatu, maka Allah tidak berada di tempat manapun.[11]
5. Hadits riwayat Abu Ya’la dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Aku telah diizinkan untuk menyampaikan berita bahwa ada seorang malaikat yang kedua kakinya terperosok dalam bumi lapis ketujuh sedang Arasy berada di pundaknya, ia berkata, “Maha Suci Allah (dari) di mana Engkau? Di mana Engkau nanti? (H.R. Abu Ya’la)[12]
Al-Haitsami mengatakan, rijalnya rijal shahih.[13] Berdasarkan hadits ini, malaikat bertasbih dengan mengucapkan Maha Suci Allah dari pertanyaan di mana Allah?. Seandainya Allah bertempat di langit, maka tasbih malaikat yang tersebut dalam hadits di atas tentu tidaklah tepat. Ini menunjukan bahwa Allah Ta’ala itu tidak bertempat, baik di langit maupun di manapun.
[Catatan]
Hadits-hadits shahih yang kami kemukakan di atas meskipun derajatnya ahad (dhanni wurud), tetapi kandungannya adalah qath’i, mengingat kandungan hadits tersebut bersesuaian dengan maksud firman Allah di atas.
Dalil yang Dipakai Mujassimah dan Bantahannya
[Dalil-1, QS al-Mulk: 16-17]
Di antara dalil yang sering kali menjadi andalan kaum Mujassimah adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:
Artinya: Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Q.S. al-Mulk: 16-17)
Kaum Mujassimah mengatakan, ayat ini secara tegas menjelaskan kepada kita bahwa Allah itu bertempat di langit. Kenapa kita tidak mau beriman dengat ayat ini?.
[Bantahan Dalil-1]
Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan sebelumnya, baik ayat-ayat al-Qur’an, hadist Nabi maupun dalil akal yang bersifat qath’i, maka kita beryakinan bahwa Allah Ta’ala mustahil bertempat di langit maupun pada sesuatu tempat. Karena itu, semua nash-nash syara’ yang dhahirnya menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bertempat wajib dipahami dengan makna yang menyucikan Allah dari sifat-sifat baharu tersebut. Karena itu, Qadhi ‘Iyadh mengatakan:
“Tidak diperselisihkan di antara kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq bahwa dhahir-dhahir nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” dan yang semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[14]
Dalam mengomentari riwayat budak perempuan yang ditanya Rasulullah SAW kepadanya di mana Allah, Imam al-Nawawi berkomentar sebagai berikut:
“Hadis ini termasuk hadis-hadis shifat. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman, Aliran pertama: mengimaninya tanpa membincangkan maknanya dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Aliran kedua: menta’wilkannya dengan memaknainya sesuai manka yang layak bagi-Nya.”[15]
Apabila kaum Mujassimah mengatakan wajib memahami ayat di atas dengan makna dhahirnya, maka dapat kita kemukakan di sini bahwa banyak sekali nash-nash syara’, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi dimana makna dhahirnya justru bertentangan dengan makna dhahir ayat di atas. Lalu apakah kita harus memaknainya dengan makna dhahirnya?. Jawabnya tentu tidak sama sekali. Berikut ini nash-nash syara’ yang dhahirnya menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak hanya bertempat di langit, antara lain:
1. FirmanAllah berbunyi:
Artinya: Dan Dialah Allah di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengatahui apa yang kaum usahakan. (Q.S. al-An’am: 3)
Seandainya kaum Mujassimah mengatakan wajib mengartikan nash-nash syara’ tentang sifat Allah secara dhahir, maka pastilah ia akan merobohkan akidahnya sendiri, sebab dhahir ayat ini mengandung makna bahwa Allah itu berada di langit dan bumi, bukan hanya di langit saja sebagaimana akidah mereka. Padahal tidak seorangpun dari umat Islam yang mengatakan bahwa Allah bertempat di langit dan di bumi. Maha Suci Allah dari bertempat di langit dan di bumi. Karena itu, para ulama Islam, baik salaf maupun khalaf tidak memahami ayat di atas secara dhahirnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan para ulama tafsir sepakat menolak pemahaman kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala berada pada setiap tempat dengan mendasarkan kepada ayat ini. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan setelah terjadi kesepakatan tersebut, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mentakwilnya, yang lebih shahih dari tafsir-tafsir itu adalah Yang diseru itu adalah Allah yang disembah, diesakan dan diakui ketuhanannya oleh orang-orang yang ada di langit dan di bumi. [16]
2. Firman Allah SWT:
Artinya: Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada. (Q.S. Al-Hadid: 4)
dan ayat:
Artinya: Dan Allah bersama kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Q.S. Muhammad: 35)
Lafadz Allah adalah nama untuk zat bukan sifat. Jadi apabila dimaknai secara dhahir sebagaimana doktrin kaum Mujassimah, maka ayat ini menunjukkan bahwa Allah berada di bumi bersama manusia. Karenanya, di sini tidak ada jalan lain selain mentakwilkan ayat di atas dan mengatakan bahwa dhahir ayat ini bukan yang dimaksud. Ibnu Katsir mengatakan tafsir Q.S al-Hadid: 4 ini adalah Allah selalu melihat dan menyaksikan segala perbuatan kamu dimana saja kamu berada, baik di darat mapun di laut, malam atau siang, di rumah-rumah atau di gurun.[17] Sedangkan dalam menafsirkan Q.S. Muhammad: 35, Ibnu Ktasir mengatakan pada ayat ini merupakan kabar gembira dengan pertolongan dan kemenangan atas musuh.[18] Jadi maksud kedua ayat di atas bukan dalam arti zat Allah ada bersama mereka, tetapi yang ada beserta mereka itu hanya ilmu serta bashar Allah dan pertolongan serta anugerah kemenangan.
3. Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu, tetapi kamu tidak melihat (Q.S. al-Wâqi’ah: 85)
Ayat ini menjelaskan tentang seseorang yang sedang menghadapi sakratul maut dan di sekelilingnya ada keluarga atau teman-teman dekatnya yang sedang mengerumuninya, di mana jaraknya sangat dekat dengannya, akan tetapi Allah menegaskan: “Kami lebih dekat kepadanya dari kamu”. Jika ayat ini harus dimaknai secara dhahir tanpa menta’wilkannya, maka akan bermakna Allah berada di bumi di sisi hamba yang sedang dalam keadaan sakratul maut itu. Dan itu artinya, Allah Ta’ala tidak berada di langit sebagai yang diyakini kaum Mujassimah. Karena itu, ayat-ayat yang seperti ini yang makna dhahirnya menunjukkan kepada bahwa Allah bertempat, baik bertempat di langit maupun di bumi harus dimaknai dengan makna lain yang sesuai dengan keagungan Allah dan kesucian-Nya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna “Kami” pada ayat ini adalah para malaikat Kami.[19] Ini sama halnya dengan seorang presiden yang mengatakan “Kami telah membangun jalan-jalan di negara kami”, tentu maknanya bukan berarti seorang presiden langsung berada di jalan-jalan memegang peralatan membangun jalan, tetapi maksudnya adalah pembangunan jalan itu atas perintah sang presiden.
4. Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Q.S. Qâf: 16)
Apakah dengan ayat ini kita akan mengatakan bahwa Allah berada dalam salah anggota tubuh kita? Jawabnya tentu tidak. Tidak seorangpun seorang yang beriman dan berakal sehat mengatakan seperti itu. Karena itu, ayat ini tidak mungkin dipahami secara dhahir. Para Ahli tafisr menafsirkan firman Allah: “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” dengan para malaikat lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya atau maksud “Kami” tersebut adalah ilmu Kami supaya tidak lazim ittihat dan hulul.[20]
5. Ketika Nabi Ibrahim a.s. didhalimi kaumnya, beliau berkata sebagaimana yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya: Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. ash-Shâffât: 99)
Nabi Ibrahim as. tidak hidup di langit dan beliau juga tidak hendak pergi ke langit untuk menjumpai Allah, lalu setelah itu beliau kembali lagi ke muka bumi. Apabila ayat seperti ini harus ditafsirkan secara makna dhahirnya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah, maka tentu ayat ini akan bermakna bahwa Nabi Ibrahim a. s. hendak pergi ke langit menghadap tuhannya di sana. Tentu penafsiran seperti ini tidak pernah dikemukakan oleh siapapun dari umat Islam yang sehat akalnya. Para mufassir menerangkan bahwa kata-kata yang diucapkan Nabi Ibrahim a.s. itu adalah pada saat beliau hendak berhijrah. Beliau akan pergi menuju tempat yang diperintah Allah untuk berhijrah ke sana. Atau menuju tempat yang beliau dapat beribadah kepada Allah di sana.[21]
6. Firman Allah Q.S al-Baqarah: 115, berbunyi:
Artinya: Kemana saja kamu menghadap, maka di sana zat Allah (Q.S. al-Baqarah: 115)
Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa Allah ada di mana kita menghadap. Artinya apabila yang kita hadap itu rumah, maka di rumah itu ada Allah, apabila yang kita hadap ka’bah, maka di ka’bah itu ada Allah, na’udzubillah ‘an zalik. Lalu apakah kita harus memaknai ayat ini dengan makna dhahirnya?. Jawabnya, tentu tidak sama sekali dan tidak ada umat Islam yang sehat akalnya yang menafsirkan demikian. Imam al-Razi, ahli tafsir dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan dalam tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib bahwa salah satu kemungkinan makna wajhullah pada ayat ini adalah bermakna arah yang dihadap pada waktu shalat, yakni qiblat. Diidhafah wahj kepada Allah adalah seperti idhafah bait kepada Allah (baitullah) dan naaqah (unta) kepada Allah (naaqatullah). Idhafah seperti ini, maksudnya adalah idhafaf bil-khlaq wal-ijaad ‘ala sabilil tasyrif (menyandarkan penciptaannya untuk memuliakannya).[22]
7. Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Jika seorang dari kamu shalat maka janganlah ia meludah di arah wajahnya, sebab sesungguhnya Allah berada di sisi wajahnya jika ia shalat. (H.R. Bukhari[23] dan Muslim[24])
Dalam riwayat lain dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Sesungguhnya Tuhan seseorang itu di antaranya dan qiblat, maka janganlah meludahi salah seorang kamu pada arah qiblat, tetapi di kiri atau di bawah dua tumitnya. (H.R. Bukhari)[25]
Apakah dengan dhahir kedua hadits ini, kita akan mengatakan bahwa Allah berada di antara orang yang shalat dan qiblatnya? Tentu hanya orang gila dan bodoh yang berani mengatakan seperti itu. Karena tidak seorangpun dari orang-orang yang beriman dan berakal sehat yang mengi’tiqad seperti itu. Karena itu, para ulama tidak memaknai kedua hadits tersebut dengan makna dhahirnya. Dalam mengomentari kedua hadits ini, al-Khuthabi mengatakan menghadap seseorang ke arah qiblat mengisyaratkan qashadnya itu adalah tuhannya, maka seolah-olah tuhannya itu ada di antaranya dan qiblatnya, karena yang menjadi qashadnya adalah tuhannya. Tafsir lain mengatakan maksudnya adalah kebesaran tuhan dan pahala-Nya.[26] Ibnu Hajar al-Asqalani ahli hadis terkenal mengatakan, dalam hadis ini terdapat bantahan atas orang yang menganggap bahwa Allah bersemayam di atas arsy-Nya dengan Zatnya. Argumentasinya seandainya hadits ini boleh ditakwil dengan makna yang layak dengan kesucian Allah, tentu kebolehan takwil itu juga dapat berlaku untuk ayat yang dhahirnya bermakna Allah bersemayam di atas arasy.[27]
8. Dari Abu Musa al Asy’ari bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Tuhan yang kamu seru itu lebih dekat daripada seorang dari kamu kepada leher kendaraannya. (H.R. Muslim)[28]
Hadits ini tentunya bukan bermakna zat Allah berada di suatu tempat yang lebih dekat kepada penunggang unta dari pada leher unta. Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini bermakna kiyasan (majaz). Tujuan ucapan hadits itu adalah memastikan Allah mendengar doa hambanya.[29]
9. Dari Abdullah ibn Abbas dan Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW jika telah mengendarai kendarannya untuk pergi bermusafir beliau berdoa:
Artinya: Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan khalifah/pengganti yang mengurus keluarga. (H.R. Muslim)[30]
Siapapun jelas mengatakan tidak mungkin maksud hadits ini bahwa Rasullulah SAW berdoa agar Allah menjadi teman dalam perjalanan dengan arti bahwa zat Allah berada di bumi dalam perjalanan bersama beliau dan juga menjadi teman yang berada di sekitar keluar beliau yang di tinggalkan. Akan tetapi maksudnya hanyalah pertolongan dan rahmat Allah selalu menyertai beliau dalam perjalanan serta keluarga beliau yang ditinggalkan.
Sebenarnya banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang dhahirnya bermakna Allah berada bukan hanya di langit, tetapi juga di bumi, namun para ulama Islam sepakat memahami nash-nash syara’ tersebut tidak dengan makna dhahirnya, tetapi mentakwilnya sesuai dengan kesucian dan keagungan Allah SWT. Seandainya kaum Mujassimah tetap ngotot memaknai ayat-ayat yang menyatakan secara zahir bahwa Allah berada di langit dan menolak menakwilkannya dengan takwil yang sesuai dengan kemahasucian Allah SWT, maka kita minta mereka bersikap jujur dan obyektif memaknai nash-nash syara’ yang kita sebutkan di atas yang menegaskan bahwa Allah tidak di langit. Bukankah nash-nash syara’ yang kita sebutkan itu secara dhahir menentang ayat-ayat yang mereka jadi dalil bahwa Allah berada dilangit? Jika mereka metakwikannya dengan takwil tertentu, maka kita katakan, “Apa yang membenarkan mereka mentakwilkan nash-nash yang itu dan menolak takwil pada Q.S. al-Mulk:16-17 ini ?”
[Tafsir yang Benar Q.S. al-Mulk: 16-17]
Setelah kita tetapkan dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah tidaklah mungkin berada di suatu tempat, baik di langit maupun di bumi ataupun di suatu yang lain yang bernama tempat, maka para ulama berusaha menafsirkan Q.S. al-Mulk: 16-17 sesuai dengan kemahasucian dan keagungan-Nya. Diantara tafsir ayat di atas adalah bahwa apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang kekuasaan-Nya Maha Agung lagi Dahsyat dan itu tidak menunjukkan bahwa Allah berada dan bertempat di langit. Sebab orang-orang Arab jika hendak mengagungkan sesuatu perkara biasa mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi. Karena itu, kira-kira makna ayat itu adalah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Zat Yang Maha Agung dan Maha Kuasa yang dapat mengguncangkan bumi dan mengirimkan badai batu yang dapat membinasakan kamu?”[31]
Syair-syair klasik orang-orang Arab membuktikan bahwa mereka terbiasa jika hendak mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi, seperti bait syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa jahiliyah, ’Antarah ibn Syaddâ al-Absi:
“Kedudukanmu di awang-awang langit tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[32]
Akhthal, salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:
”Suku Bani Dârim di langit sedangkan kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[33]
Atau bisa jadi yang dimaksud dengannya adalah para malaikat yang dikirim Allah untuk menurunkan azab-Nya, sebab tempat para malaikat di langit.[34]
[Dalil-2, Hadits al-Jariah]
Dalil lain yang sering dijadi sebagai argumentasi kaum Mujassimah adalah hadits dalam Shahih Muslim berbunyi:
Artinya: Mu’awiyah ibn al-Hakam al-Salamy berkata: “Aku memiliki seorang budak perempuan yang mengembala kambing-kambingku disekitar Uhud dan Jawaniyah. Pada suatu hari aku saksikan seekor serigala menyambar seekor kambing gembalaannya, karena aku seorang anak Adam (manusia biasa) maka aku menyesalinya seperti mereka juga menyesalinya. Hanya saja aku menempelengnya dengan sekali tempelengan, kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, aku menyesali perbuatanku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah perlu aku merdekakan dia?” Beliau bersabda, “Bawa dia kemari!” Maka aku bawa ia menghadap beliau. Beliau bertanya kepadanya, “Di mana Allah?”Ia menjawab, “Di langit.” Siapa aku?, lanjut Nabi. ‘Engkau Rasulullah’, jawabnya. Maka Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Sesungguhnya ia seorang mukiminah.”(H.R. Muslim)[35]
Kaum Mujasssimah mengatakan, hadits ini dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa Allah berada di langit sesuai dengan pengakuan budak perempuan dalam kisah hadits ini dan Rasulullah SAW sendiri mengakui keimanannya dengan sebab pengakuan tersebut. Selanjutnya mereka mereka mengatakan, dengan demikian i’tiqad bahwa Allah berada di langit merupakan i’tiqad yang haq.
[Bantahan Dalil-2]
Perlu menjadi catatan bagi kita bahwa dalam bidang pokok-pokok akidah (keyakinan) tidak dibolehkan kecuali ditegakkan di atas pondasi dan dasar yang qath’i (pasti dan tidak mengandung ta’wil atau kesamaran). Karena itu, Allah berfirman dalam al-Qur’an:
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan (keyakinan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. al-Isra’: 36)
Ini berbeda dengan masalah-masalah furû’iyah (fiqh praktis/amaliyah) dimana para ulama membolehkan membangun kesimpulan mengenainya berdasarkan dalil-dalil dhanniyah (dugaan yang tidak sampai kepada yakin). Kami kira semua orang akan mudah memahami ini, karena tidak mungkin sebuah kesimpulan yang bersifat qath’i dibangun hanya dari dalil yang bersifat dhanni.
Hadits ahad hanya bernilai dhanni, tidak qath’i
Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama Islam menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara lain:
1. Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya:
“Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)”[36]
Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan:
“Ahad adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.”[37]
2. Zakariya al-Anshari mengatakan:
“Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.”[38]
3. Imam al-Nawawi mengatakan:
“Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan ilmu (keyakinan).”
Selanjutnya beliau menjelaskan:
“Sebagian Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya…..”[39]
4. Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan:
“Para ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis ahad yang adil, apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan) dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan saja? Menurut mayoritas ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan ilmu pasti. Ini adalah pendapat Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.”[40]
Berdasar keterangan ulama –ulama besar kita di atas, nyatalah bagi kita bahwa bahwa hadits ahad yang bernilai dhanni ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah. Ketidakhujjahan tersebut dikarenakan kemungkinan adanya kesalahan, kealpaan, pemalsuan bisa saja terjadi, sedangkan akidah sebagaimana dimaklumi dibangun atas dasar keyakinan dan kepastian.[41]
[Hadits al-Jariah Adalah Hadits Ahad]
Hadits al-jariah ini sebagaimana telah dikutip di atas merupakan hadits riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Atha’ bin Yasar dari Mu’awiyah bin al-Salamy. Hadits ini tidak diriwayat oleh Imam al-Bukhari. Hadits ini merupakan hadits ahad yang riwayatnya tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Dengan demikian, tingkat kebenaran hadits ini tidak sampai tingkatan keyakinan, tetapi hanya tingkatan dhan saja. Karena itu, sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka hadits ini tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah, karena keyakinan dalam bidang akidah harus dibangun berdasarkan dalil yang pasti/yakin, tidak boleh hanya dengan argumentasi yang nilainya hanya dhan saja. Lagi pula hadits ini meskipun shahih sanadnya, tetapi makna dhahirnya bertentangan dengan aqidah yang sudah menjadi ijmak ulama bahwa Allah tidak bertempat dan tidak mempunyai arah sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 1 (satu) tulisan ini.
Perlu menjadi catatan kita bahwa hadits al-jariah ini datang dalam kebanyakan riwayat lainnya dengan mempunyai redaksi yang berbeda dengan riwayat Muslim di atas. Riwayat-riwayat itu antara lain:
1. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Ibnu Juraij, ia berkata, Athâ’ mengabarkan kepadaku:
Artinya: Nabi SAW menanyakan kepada budak perempuan itu, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW bertanya, “Apakah engkau beriman bahwa kematian dan kebangkitan setelah kematian haq?” Ia menjawab, “Ya. Nabi SAW bertanya lagi,”Apakah engkau beriman bahwa surga dan nereka itu haq?”Ia menjawab,”Ya.”Maka setelah selesai, Nabi SAW bersabda, “Merdekakan atau tahan dia” (H.R. Abdurrazzaq)[42]
Hadits ini juga telah diriwayat oleh Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya,[43] al-Haitsami mengatakan, hadits riwayat Ahmad ini rijalnya shahih.[44]
2. Hadits diriwayat dari Abu Hurairah r.a:
Artinya: Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Nabi SAW dengan seorang budak perempuan hitam ‘ajamiah, dia berkata kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ada kewajiban atasku memerdekakan seorang budak perempuan yang beriman.” Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Dimana Allah?” maka budak itu mengisyaratkan dengan kepalanya ke langit serta telunjuknya. Kemudian Rasulullah SAW melanjutkan pertanyaan: “Siapa saya?”, budak itu mengisyaratkan dengan telunjuknya kepada Rasulullah SAW dan kepada langit, maksudnya “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Merdekakan dia” (H.R. Ahmad, al-Bazar dan al-Thabrani dalam al-Ausath. Rijalnya terpercaya) [45]
3. Hadits dari Abu Salamah dari Syarid berkata:
Artinya: Aku mendatangi Nabi SAW dan berkata, ’Sesungguhnya atas ibuku kewajiban memerdekakan budak sahaya, dan aku punya seorang budak perempuan berkulit hitam dari suku Nubi, apakah ia memadai? Nabi SAW bersabda, ’Bawa dia kemari!’ (Setelah ia didatangkan) Nabi SAW bertanya kepadanya, ’Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Ia menjawab, ’Ya.’ Maka Nabi SAW bersabda “Merdekakan dia, sesungguhnya dia seorang wanita mukminah!.”(H.R. al-Darimi)[46]
4. Dari Syarid ibn Suwaid al-Tsaqafi, ia berkata:
Artinya: ‘Aku mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku berwasiat agar kami memerdekakan budak dan aku punya seorang budak sahaya berkulit hitam. Nabi SAW bersabda, ‘Panggil dia!’ Lalu dia datang, maka Nabi SAW bertanya, ‘Siapa Tuhanmu? Ia berkata, ‘Allah.’ Nabi SAW bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ ia menjawab, ‘Engkau adalah Rasul Allah.’ Nabi SAW bersabda memerintah, ‘Merdekakan dia karena sesungguhnya dia seorang wanita mukminah.’”(H.R. Ibnu Hibban [47] dan al-Baihaqi[48])
5. Dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn Utbah:
Artinya: Sesungguhnya ada seorang dari Anshar datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa seorang budak berkulit hitam, lalu ia berkata, “Hai Rasulullah, atasku ada kewajiban memerdekakan budak mukmin, apakah aku dapat memerdekakan si ini ?. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Nabi SAW melanjutkan, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Ia pun menjawab, “Ya.” Nabi SAW bersabda lagi, “Apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian? “Ia menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Merdekakan dia.”(H.R. Malik)[49]
Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Tamhîd syarh al-Muwaththa’ mengomentari hadits ini bahwa dhahir riwayatnya adalah mursal, namun didapat dianggap bersambung sebab Ubaidillah berjumpa dengan sejumlah sahabat Nabi SAW.[50]
Dari beberapa hadits ini saja sudah terlihat kepada kita terdapat perbedaan redaksi satu sama lain yang tidak dapat dikompromikan. Dalam hadits riwayat Muslim Nabi SAW menanyakan “dimana Allah” dan budak itu menjawab : “di langit”, sedangkan dalam riwayat Abdurrazaq perkataan “dimana Allah” dan “di langit” tidak ditemui, demikian juga dalam riwayat Malik, al-Darimi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi, yang ada justru kesaksian bahwa Tuhan adalah Allah dan Muhammad sebagai utusan Allah dan seterusnya. Adapun dalam riwayat Ahmad, al-Bazar dan al-Thabrani, dhahirnya budak perempuan tersebut adalah bisu, karena budak itu beberapa kali menjawab pertanyaan Rasulullah SAW dengan isyarat, tidak dengan ucapan langsung.
Pernyataan ahli hadits yang menjelaskan bahwa hadits al-jariah banyak terjadi perbedaan redaksinya dapat disimak antara lain:
1). Al-Baihaqi mengatakan:
“Imam Muslim telah meriwayatkannya dengan memotong (tidak keseluruhan) dari hadis al Auza’i dan Hajâj ash Shawwâf dari Yahya ibn Abi Katsîr tanpa menyebut kisah Jâriyah. Mungkin ia meninggalkan penyebutannya dalam hadis itu disebabkan perselisihan para perawi dalam penukil redaksinya. Dan saya telah menyebutkan dalam kitab al-Sunan pada bab al-Dzihâr perselisihan perawi yang menyelisihi Mu’awiyah ibn Hakam dalam redaksi hadis.”[51]
2). Dalam Kasyf al-Astar disebutkan:
“Al-Bazar mengatakan, “Ini (hadits al-jariah) telah diriwayatkan hadits serupa dengannya dengan redaksi yang berbeda-beda.”[52]
3). Ibnu Hajar al-Asqalani dalam mengomentari hadits al-jariah ini, mengatakan:
”Pada redaksinya banyak terjadi perbedaan.”[53]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami kalau sebagian ahli hadits menganggap hadits al-jariah di atas adalah muththarib (goyang) matannya, karena datang redaksinya dalam beberapa jalur yang berbeda satu sama lainnya. Sedangkan hadits muttharib adalah dha’if. Al-Muhaddits al-Kautsary (Lahir: 1296 H) dan diikuti oleh Sayyed Hasan al-Saqaf (ahli hadits kontemporer) telah menyebutkan secara tegas bahwa hadits ini muththarib.[54] Al-Muhaddits al-Fazha’i al-Idhamy al-Syafi’i (w. 1376 H) menjelaskan kepada kita bahwa redaksi “dimana Allah” dan “di langit” pada hadits jariah tersebut bukanlah ucapan Rasulullah SAW, tetapi hanya merupakan ucapan sebagian perawi (riwayat bil-makna) yang tersalah dalam pengungkapannya. Argumentasi yang dikemukakan al-Idhamy, karena kaum musyrik Arab tidak keluar dari keadaan mereka sebagai orang musyrik, padahal mereka juga mengi’tiqad bahwa Allah di langit. Sesungguhnya yang dapat mengeluarkan mereka dari syirik adalah pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah sebagaimana terdapat dalam riwayat lain mengenai kisah al-jariah ini.[55] Dalil bahwa seseorang tidak terlepas dari syirik sehingga ada pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah adalah hadits Nabi SAW berbunyi:
Artinya: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaha illallah (H.R. al-Thabrani dengan rijal terpercaya)[56]
Dalam riwayat lain berbunyi:
Artinya: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka naik saksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Suyuthi mengatakan hadits ini bernilai mutawatir.[57] Al-Munawi juga mengatakan hadits ini mutawatir, karena telah diriwayat oleh lima belas orang sahabat Nabi SAW.[58]
Alhasil, hadits al-jariah ini tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini dha’if menurut sebagian ahli hadits. Kalaupun hadits ini shahih, maka juga tidak dapat menjadi hujjah, karena hadits ini adalah hadits ahad. Hadits ahad meskipun shahih tidak dapat menjadi hujjah dalam bidang akidah sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini.
[Pemahaman Hadits al-Jariah yang Benar]
Seandainya hadits al-jariah ini dapat dijadikan hujjah (sekali lagi seandainya dapat dijadikan hujjah), maka panafsirannya juga tidak sebagaimana dhahir redaksinya sebagaimana dakwaan kaum Mujassimah. Hal ini karena penafsiran secara dhahir bertentangan dengan ijmak ulama yang mengatakan bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan arah dan demikian juga bertentangan dengan sharih ayat al-Qur’an dan dalil syara’ lainnya sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian (1) tulisan ini. Berikut ini penjelasan para ulama mengenai pengertian hadits ini, antara lain:
1. Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, berkata:
“Hadis ini termasuk hadis-hadis sifat. Tentangnya ada dua aliran (penafsiran), telah lewat berulang kali keterangan tentangnya dalam Kitabul Iman, Pertama: Mengimaninya tanpa menelusuri maknanya dengan keyakinan bahwa Allah Ta’ala tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Kedua: menta’wilkannya dengan makna yang layak bagi-Nya. Dan batangsiapa yang mengikuti pendapat ini mengatakan bahwa maksud kandungan hadits ini adalah menguji si budak wanita itu apakah ia mengesakan Allah dengan mengakui bahwa Zat Maha Pencipta, Mengatur semesta alam dan yang Maha Berbuat segala sesuatu adalah hanya Allah? Dan Dialah yang apabila seorang pendo’a memanggil-Nya ia menghadap langit, seperti jika ia shalat menghadap Ka’bah. Yang demikian bukan dikarenakan Allah dibatasi di langit sebagaimana Dia tidak dibatasi di arah Ka’bah, akan tetapi karena langit adalah kiblat para pendo’a sebagaimana ka’bah kiblat shalat, atau dia (budak perempuan itu) adalah penyembah patung yang berada di depan para penyembahnya. Dan ketika ia mengatakan: Dia di langit, Nabi SAW memaklumi bahwa dia seorang yang mengesakan Allah bukan penyembah patung.”[59]
2. Qadhi ‘Iyadh mengatakan:
“Tidak diperselisihkan di antara kaum Muslimin, baik ahli fikih, ahli hadis, para teoloq, ahli pikir dan pengikut di antara mereka bahwa dhahir-dhahir nash yang datang menyebut Allah di langit seperti firman Allah: “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu?” dan yang semisalnya itu tidak diartikan secara dhahirnya.”[60]
3. Al-Hafidh Ibnu al-Jauzy dalam mengomentari hadits ini, mengatakan:
“Aku berkata, ‘Telah tetap di kalangan para ulama bahwa Allah Ta’ala tidak dirangkum oleh langit dan bumi dan tidak pula dihimpun oleh penjuru, akan tetapi dikenali-Nya dengan isyarat budak perempuan itu kearah langit karena pengagungan Zat Maha Pencipta.”[61]
Jadi, isyarat budak perempuan itu bahwa Allah di langit bukan bermakna sesungguhnya, tetapi hanya sebagai ungkapan pengagungan kepada Allah Ta’ala sebagaimana syair-syair klasik orang-orang Arab telah membuktikan bahwa mereka terbiasa jika hendak mengagungkan sesuatu perkara mensifatinya dengan sesuatu yang tinggi, seperti bait syair yang digubah pujanggga kenamaan Arab di masa jahiliyah, ’Antarah ibn Syaddâ al-Absi:
“Kedudukanmu di awang-awang langit tempatnya * sedangkan lenganku pendek tuk menggapai bintang gemintang.”[62]
Akhthal salah seorang penyair terkenal pada zaman Bani Umayyah juga menggubah bait syair berbunyi:
”Suku Bani Dârim di langit sedangkan kamu* debu bumi, duhai alangkah jauhnya antara keduanya.”[63]
4. Membantah Ibnu Zafil yang berpendapat Allah berada di langit, Imam al-Subki dalam kitabnya al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl mengatakan:
“Aku berkata ‘Adapun ucapannya: Sabda Nabi SAW kepada si budak perempuan, ‘Di mana Allah?’ dan jawabannya, ‘Di langit.’ Ketahulilah bahwa para ulama sejak dahulu hingga sekarang telah banyak membicarakan hadis tersebut. Pembicaraan tentangnya sangat ma’ruf, dan akan orang ini (Ibnu Zafil) tidak menerimanya.”[64]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits al-jariah tersebut tidak boleh ditafsirkan menurut makna dhahirnya, akan tetapi wajib diserahkan maksudnya kepada Allah Ta’ala tanpa menelusuri maknanya dengan mengi’tiqad bahwa Allah maha suci dari mempunyai tempat dan arah (mazhab tafwidh). Atau menafsirkannya sesuai dengan sifat yang layak bagi kemahasucian Allah Ta’ala sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang telah kita kemukakan di atas.
Referensi:
[1] Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Maktabah Ibnu Sina, Kairo, Hal. 287
[2] Ibnu al-Jauzi, Daf’u Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih, Dar al-Imam al-Rawas, Beirut, Hal. 189
[3] Mulla Ali al-Qarii, Syarah Fiqh al-Akbar, Hal. 137-138
[4] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. I, Hal. 221
[5] Al-Zabidi, Ittihaf al-Saadah al- Muttaqin, Muassisah li Tarikh al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 24
[6] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 89
[7] Al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khaaniji, Mesir, Hal. 39
[8] al-Thahawi, Matan al-Aqidah al-Thahawiyah, al-Maktab al-Islami, Hal. 7
[9] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 129
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 2084, No. 2713
[11] Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Shifat, al-Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Hal. 373
[12] Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, Maktabah Syamilah, Juz. XI, Hal. 496, No. 6619
[13] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 458.
[14] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34
[15] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33
[16] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 215
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 43
[18] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 299
[19] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 35
[20] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 371-372
[21] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 97
[22] Imam al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 307-308
[23] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90, No. hadits : 406
[24] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 388, No Hadits : 547
[25] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 90, No. hadits : 405
[26] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508
[27] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508
[28] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 2077, No Hadits : 2704
[29] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. XVII, Hal. 43
[30] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 978, No Hadits : 1342
[31] Lihat Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 216
[32] Al-Khatib al-Tabrizy, Syarah Diwan ’Antarah, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 35
[33] Mahdi Muhammad Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 221
[34] Lihat Khatib Syarbaini, Tafsir Siraj al-Munir, Juz. IV, Hal. 344
[35] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 381, No hadits : 537
[36] Al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khaniji, Mesir, Hal. 419
[37] Al-Juwaini, al-Warqaat, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19
[38] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97
[39] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 187-188
[40] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 7
[41] Lihat al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 188
[42] Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, Maktabah Syamilah, Juz. IX, hal. 175
[43] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Maktabah Syamilah, Juz. XXV, Hal. 19, No. Hadits 15743
[44] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23
[45] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 23-24, No Hadits 42
[46] Al-Darimi, Sunan al-Darimi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1514, No. hadits : 2393
[47] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 418, No. 189
[48] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 638, No. 15272
[49] Imam al-Malik, al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 405, No. 2731
[50] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 114
[51] Al-Baihaqi, al-Asmaa wal-Shifat, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 325
[52] Al-Haitsami, Kasyf al-Astar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 14
[53] Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkish al-Habiir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 448
[54] Hasan al-Saqaf, Syarah Aqidah al-Thahawiyah, Dar al-Imam al-Rawas, Beirut, Hal. 357
[55] Al-Fazha’i al-Idhamy al-Syafi’i, al-Barahin al- Sathi’ah, al-Mathba’ah al-Sa’adah, Hal. 263
[56] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
[57] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal.2250
[58] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 188
[59] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 33-34
[60] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. V, Hal. 34
[61] Ibnu al-Jauzy, Daf’u Syubah, Dar al-Imam al-Rawaas, Beirut, Hal. 189
[62] Al-Khatib al-Tabrizy, Syarah Diwan ’Antarah, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Hal. 35
[63] Mahdi Muhammad Nashiruddin, Syarah Dewan al-Akhthal, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 221
[64] Imam al-Subki, al-Saif al-Shaqîl Fi ar Raddi ‘alâ Ibni Zafîl, Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Kairo, Hal. 82-83
0 comments:
Post a Comment