Hari Asyura’ termasuk hari yang istimewa dan bersejarah. Bahkan hari itu tergolong hari yang universal, dalam arti tidak hanya diakui oleh Nabi Agung Muhammad صلى الله عليه وسلم, tapi juga Nabi-Nabi sebelumnya. Sebagian Ulama’ mengungkapkan bahwa Hari Asyura’ mempunyai beberapa keistimewaan yang tidak ada di hari-hari yang lain [1]. Ada beberapa hal yang akan kami sampaikan terkait Hari Asyura’ ini, yang kami nukil dari beberapa kitab kuning yang masyhur di kalangan pesantren.
Etimologi Asyura’
Secara linguistik, “Asyura’ [عَاشُورَاء] atau Asyura [عاشُورَى]” terambil dari kata dasar “الْعشْر”, yang bearti sepuluh. Imam Qurthubi mengatakan Asyura’ adalah bentuk udul dari Asyirah [عاشرة] yang menunjukkan mubalaghoh dan ta’dzim, yang arti asalnya adalah malam ke-sepuluh. Jadi, Hari Asyura’ itu bearti hari dari malam ke-sepuluh. Sesuai pendapat ini, hari ke-sembilan adalah Asyura’ (siangnya malam ke-sepuluh) [2].
Mayoritas Ulama’, termasuk Syeikh Abu Manshur al-Lughawi dan Imam Jauhari, berpendapat bahwa kata Asyura’ itu dibaca mamdud (isim yang akhir hurufnya berupa hamzah yang didahului alif) atau dibaca عَاشُورَاء. Sedangkan menurut Syeikh Abu Amr As-Syaibani, kata ini boleh dibaca maqshur (isim yang akhir hurufnya berupa alif) atau Asyura [عاشُورَى]. Abu Amr juga menuturkan bahwa tokoh Nahwu terkemuka, yakni Imam Sibawaih (w. 180 H), juga menyebutkan bahwa lafadz Asyura’ boleh dibaca mamdud maupun maqshur. Guru Imam Syibawaih, yakni Imam Khalil Al-Farahidi, menuturkan bahwa Asyura’ mengikuti wazan Fa’ula’ (dengan mamdud), karena kata ini berasal dari bahasa Ibrani. Syeikh Abu Bakr ibn Duraid (w. 321 H) dalam kitabnya Jamharotul-Lughoh berpendapat bahwa lafadz Asyura’ itu termasuk nama yang islami, dalam arti tidak dikenal pada zaman jahiliyah, karena pada masa itu tidak dikenal wazan Fa’ula’. Akan tetapi, mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa kata Asyura’ sudah dikenal pada masa jahiliyah [2].
Kapan itu hari Asyura’?
Mayoritas Ulama’ dari para Shohabat maupun Tabi’in memilih tanggal 10 sebagai hari Asyura’. Imam Khalil mengatakan, pendapat ini sesuai dengan kata-dasar Asyura’, yakni Al-Asyr yang bearti sepuluh. Diantara para shahabat yang sepakat dengan pendapat ini adalah Sayyidah A’isyah, sedangkan dari Tabi’in ada Sa’id ibn Al-Musayyab dan Hasan Bashri. Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan para pengikutnya juga mengikuti pendapat ini. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa Asyura’ itu jatuh pada tanggal 9 Muharram. Pendapat ini diikuti juga Imam Ad-Dlahhak.
Dalam kitab Al-Ahkam karya Ibn Bazizah (w. 662 H) disebutkan bahwa para shahabat berbeda pendapat apakah hari Asyura’ itu jatuh pada tanggal 9, 10 atau 11 Muharram. Imam Al-Laits as-Samarqandi dalam tafsirnya berpendapat, hari Asyuro’ itu tanggal 11. Imam At-Thabari juga menuturkan hal demikian.
Dari perbedaan ini, sebagian Ulama’ lebih menyukai (mensunnahkan) untuk berpuasa 2 hari sekaligus. Hal ini diriwayatkan dari Abu Rafi’, murid dari Abu Hurairah dan juga dari Ibn Sirin. Kesunahan ini juga diikuti oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Imam Abu Ishaq bahkan berpuasa 3 hari sekaligus; yaitu ditambah hari sebelum dan sesudahnya. Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa beliau pernah berkata: Berpuasalah kamu (untuk hari Asyura’) sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, dan berbedalah kamu dari orang Yahudi. Dalam kitab Al-Muhith disebutkan bahwa makruh hukumnya jika hanya puasa di hari Asyura’ karena menyerupai Yahudi. Dalam Al-Bada’i’ dinyatakan bahwa kemakruhan ini tidak berlaku bagi orang awam karena memang hari Asyura’ itu termasuk hari-hari yang utama [2].Ada Apa dengan Asyura’?
Ulama’-ulama’ berselisih tentang kenapa hari itu dinamakan Asyura’. Secara dzahir, dinamakan Asyura’ karena ia jatuh pada hari ke-sepuluh bulan Muharram. Akan tetapi, sebagian ulama’ lain ada yang memberikan alasan bahwa pada hari itu Allah memuliakan sepuluh Nabi dengan sepuluh kemuliaan. Yaitu:
- Pertama, Nabi Musa alaihis salam diselamatkan pada hari itu dengan terbelahnya lautan sehingga Fir’aun beserta pasukannya mati tenggelam.
- Kedua, Nabi Nuh alaihis salam dimuliakan dengan terdamparnya kapal beliau di Gunung Judiy, seperti yang disampaikan oleh Imam Qatadah. Hal ini terjadi setelah kapal beliau terombang ambing di perairan selama (wa-qila) 150 hari [3].
- Ketiga, Alloah menyelamatkan Nabi Yunus alaihis salam dari perut ikan juga pada hari Asyura’ (sesuai pendapat Ibn Habib).
- Keempat, Allah menerima taubat Nabi Adam alaihis salam juga di hari Asyura’, demikian pendapat Ikrimah.
- Kelima, Nabi Yusuf alaihis salam dapat keluar dari sumur yang dalam juga pada hari itu (sesuai pendapat Ibn Habib).
- Keenam, pada hari itu, Nabi Isa alaihis salam dilahirkan dan diangkat ke langit (sesuai pendapat Ibn Habib).
- Ketujuh, Allah menerima taubat Nabi Dawud alaihis salam.
- Kedelapan, pada hari itu juga Nabi Ibrahim alaihis salam dilahirkan.
- Kesembilan, penglihatan Nabi Ya’kub alaihis salam menjadi normal kembali juga terjadi pada hari itu.
- Kesepuluh, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dimuliakan dengan diampuninya segala dosa/kesalahan dari yang terdahulu maupun yang akan datang [2].
Hukum Puasa Asyura’
Para ulama’ sepakat bahwa puasa Asyura’ itu sunnah hukumnya, bukan wajib. Seperti hadits dari Qutaibah ibn Sa’id dan Muhammad ibn Rumhin yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang Quraisy di masa jahiliyah mengamalkan puasa Asyura’, kemudian Nabi صلى الله عَلَيْهِ وَسلم memerintahkan untuk berpuasa (di hari Asyura’) juga sampai diwajibkannya puasa Ramadhan” [4]
Akan tetapi, para Ulama’ berselisih tentang hukumnya di masa awal-awal Islam sebelum diwajibkannya puasa Ramadlan. Imam Hanafi berpendapat bahwa puasa Asyura’ pada mulanya hukumnya wajib. Sedangkan para ashhab (pengikut) Imam Syafi’i meriwayatkan dua pendapat, yang paling masyhur ialah bahwa puasa Asyura’ mulai sejak disyari’atkan hukumnya sunnah dan tidak pernah menjadi suatu kewajiban bagi umat ini. Akan tetapi hukum sunnahnya sangat dikukuhkan. Setelah turun perintah puasa Ramadlan, kesunahan puasa Asyuro’ tidak sekukuh sebelumnya. Pendapat kedua dari para ashhab Imam Syafi’i ialah sama dengan pendapat Imam Hanafi [2, 4].
Perlu diketahui, sebagian Ulama’ Salaf masih ada yang berpendapat tentang wajibnya puasa Asyura’ yang masih berlaku hingga saat ini, dalam arti hukum wajibnya tidak dimansukh. Pernyataan ini pernah dinukil oleh Imam Qadli Iyadh [2,4]. Akan tetapi pernyataan ini bertentangan dengan ijma’ ulama’ yang berpandangan bahwa puasa Asyura’ hanya sunnah.Keutamaan Puasa Asyura’
Sebetulnya banyak sekali hadits-hadits atau atsar-atsar yang menjelaskan tentang keutamaan puasa Asyura’, kami akan menyebutkan beberapa saja, diantaranya:
Dari Abu Qotadah, sesungguhnya Nabi صلى الله عَلَيْهِ وَسلم pernah bersabda: “Puasa hari Asyura', sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu” (HR. Imam Muslim, Tirmidzi dan Ibn Majah).
Imam Nawawi dalam magnum opus-nya al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab menjelaskan bahwa yang dimaksud “dosa” yang akan dihapus adalah dosa-dosa kecil. Imam Qadli Iyadl juga mengatakan demikian, karena dosa-dosa besar tidak akan dihapus atau diampuni oleh Alloh kecuali dengan taubat atau mendapat rahmat dari Alloh.
Dari Ibn Abbas, beliau berkata: Aku tidak penah melihat Nabi صلى الله عَلَيْهِ وَسلم bersemangat puasa pada suatu hari yang lebih beliau utamakan atas selainnya, kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan pada satu bulan ini, yakni bulan Ramadhan (HR Imam Bukhori).
Dari Ibn Abbas, beliau bersabda: Ketika Rasulullah صلى الله عَلَيْهِ وَسلم tiba di Madinah, beliau melihat orang yahudi berpuasa pada hari kesepuluh (Muharram), maka beliau bertanya: Apakah ini?. Mereka menjawab: Ini merupakan hari yang baik, dimana pada hari inilah Allah SWT menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, sehingga nabi Musa alaihis salam berpuasa pada hari ini. Maka sabda beliau صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: “Maka aku lebih layak dengan nabi Musa alaihis salam daripada kalian, maka beliau صلى الله عَلَيْهِ وَسلم berpuasa dan menyuruh untuk berpuasa pada hari ini. (HR Imam Bukhari).
Dalam kitab As-Shiyam karya Qadli Yusuf disebutkan bahwasanya Ibn Abbas pernah berkata:
“Tidak ada hari yang lebih utama daripada hari lain dalam puasa kecuali bulan Ramadlan atau hari Asyura’” [2].
Amalan-Amalan di Hari Asyura’
Dinukil dari sebagian ulama’-ulama’ besar bahwasanya amalan-amalan yang dianjurkan di hari Asyura’ itu ada 12 macam, yaitu:
- Shalat, yang lebih utama adalah shalat tasbih
- Puasa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
- Shadaqah
- Membuat keluasaan/melapangkan (bahasa jawa= mayoran) untuk dirinya dan keluarganya
- Mandi
- Berkunjung (sowan) ke orang alim yang sholih
- Menjenguk orang sakit
- Mengusap kepala (menyantuni) anak yatim
- Memakai celak mata (eye shadow)
- Memotong kuku
- Membaca surah Al-Ihlash 1000 kali
- Bershilatur rahmi
“Barang siapa membuat kelapangan (mayoran) kepada dirinya dan keluarganya, maka Alloh akan melapangkan dia di sisa tahunnya”.Hadits ini diriwaykan oleh al-Thabarani dari Ibn Mas’ud, Imam Baihaqi dalam Syu’abil Iman dan Ibn Adi dari Abu Hurairah. Sanad-sanadnya dinilai Dla’if/lemah, tetapi jika gabungkan yang satu dengan yang lainnya maka menjadi kuat. Tak heran jika hadits ini dinilai hasan oleh Imam Sakhawi dan Imam Zainuddin al-Iraqi. Perdebatan tentang derajat hadits ini bisa dilihat di kitab-kitab takhrijul hadits. Akan tetapi, Jabir, Abu Zubair dan Syu’bah pernah mencoba khasiat hadits ini dan ternyata mereka benar-benar membuktikan khasiatnya (mendapat kelapangan disisa tahun itu). Hal yang sama juga dilakukan oleh Syeikh Yahya ibn Sa’id dan Imam Ibn Uyainah [6].
Bacaan di Hari Asyura’
Imamnya para ahli hadits, yakni Imam Ibn Hajar al-Asqollani dalam Fathul Bari syarh Shohih Al-Bukhori menyatakan: Barang siapa membaca kalimah-kalimah ini di hari Asyura’, maka hatinya tak akan mati (keras) [1, 5]. Kalimah-kalimah ini yang dimaksud adalah:
Imam al-Dairabi dan Sayyid Muhammad al-Amir menukil dari Syeikh al-'Allamah al-Ujhuri bahwasanya barang siapa membaca “Sebagian Ulama’ lain juga menyampaikan sebuah do’a yang patut untuk dibaca di hari Asyura’, yaitu:حسْبنَا الله ونعم الوكيل، نعم المولَى ونعم النصير ” sebanyak 70 kali, maka Allah akan mencukupinya dari segala keburukan pada tahun itu.
Amin.. Amin.. Ya Rabbal Alamin.
Referensi:
[1] Syeikh Nawawi Al-Jawi dalam Nihazatuz-Zain
[2] Syeikh Badruddin Al-Aini (w. 855 H) dalam Umdatul Qori Syarh Shohih Al-Bukhori
[3] Syeikh Abdurrahman As-Shofuri (w. 894 H) dalam Nuzhatul Majalis wa Muntakhobun Nafa’is
[4] Imam Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim ibn Hajjaj
[5] Syeikh Abdul Hamid Ali Quds (w. 1335 H) dalam Kanzun Najah Was Surur
[6] Imam Ibn Bathol (w. 449 H) dalam Syarh Shohih Bukhori
0 comments:
Post a Comment