Dari sini lalu dapat kita simpulkan bahwa khitan pada perempuan menurut kesepakan empat madzhab merupakan perkara yang disyari’atkan, walaupun menurut sebagian besar ulama Islam hukumnya bukan wajib --sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hafdiz Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam Fath al-Bari (10/340). Pendapat dari masing-masing madzhab ini terbukukan dengan rapi di kitab-kitab induk mereka dan terwariskan secara apik dari generasi ke generasi. Beberapa kitab induk yang kami maksud diantaranya ialah Hasyiah Ibn Abidin (6/751), al-Ikhtiyar li Ta’lil al-Mukhtar (4/167), Mawahib al-Jalil (3/258), Hasyiah al-Adawi (1/596), al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (1/300), Tuhfah al-Muhtaj (9/198), Kasysyaf al-Qina’ (1/80), al-Mughni (1/64) dan masih banyak lagi. Sehingga atas dasar ini pula, banyak diantara kita yang masih mempertahankan dan mempraktikkan khitan pada perempuan, lebih-lebih umat Islam di Indonesia yang notabene secara mayoritas bermadzhab Syafi’i.
Bahkan setelah beberapa negara yang secara resmi melarang khitan perempuan –misalnya Guinea pada tahun 1965 dan Mesir pada tahun 1996-, lalu disusul pernyataan resmi dari WHO, UNICEF dan UNFPA tahun 1997 yang mendesak komunitas internasional untuk menghentikan dan mengecam partik khitan ini, ditambah laporan dari Parlemen Eropa pada 2001 yang mengkategorikan khitan perempuan sebagai tindakan kriminal (crimes), ternyata masih banyak pula yang ‘membangkang’ dan tetap mempertahankannya. Lebih-lebih, beberapa tokoh —yang kalau boleh kami menyebutnya sebagai ulama ‘semi’-kontemporer— memberi dukungan lewat fatwa-fatwa mereka kepada kaum muslimin secara umum untuk terus mempertahankan syi’ar khitan perempuan ini, walaupun ditentang oleh sebagian besar ahli medis atau badan kesehatan dunia sekalipun.
Beberapa tokoh dan ulama yang kami maksud tadi diantaranya ialah Syeikh al-Azhar al-Imam Abdul Halim Mahmud (w. 1978 M) dalam Fatawa beliau (2/304-305), Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (w. 1990 M)—Mufti Agung Mesir pada waktu itu dalam Fatawa Syar’iyah (1/126-127), Syeikh Jad al-Haqq Ali Jad al-Haqq (w. 1996 M)–Syeikh al-Azhar dalam Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyah (no. 1202), Syeikh ‘Athiyah Shaqr (w. 2006 M)—Ketua Lajnah al-Fatwa al-Azhar dalam journal al-Mujahid (53) tahun 1415 H, Syeikh Abdul Aziz ibn Baz (w. 1999 M)—Mufti Kerajaan Arab Saudi sebagaimana terbubukan dalam Fatawa al-Lajnah al-Da’imah (5/119-121), Syeikh al-Azhar Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi (w. 2010 M) dalam al-Fatawa al-Islamiyah (no. 3483) tahun 1987 M yang merupakan fatwa lama (qadim) dari beliau), lalu fatwa lama dari Syeikh Ali Jum’ah sebagaimana tercatat dalam al-Kalim al-Thayyib (201-210). Bahkan Syeikh Ali Jum’ah pada waktu itu mengkritik dan menentang keras Peraturan dari Kementrian Kesehatan Mesir tahun 1959 yang melarang praktik khitan perempuan.
Analisa Beberapa Dalil terkait Khitan Perempuan
Pandangan dari para imam madzhab dan para ulama setelahnya sebagaimana --yang telah kami paparkan sebelum ini-- merupakan sebuah produk ijtihad yang didasarkan pada beberapa dalil baik dari Al-Qur’an maupun al-Hadits. Hanya saja dalil-dalil yang mereka pakai tak luput dari kritik atau catatan negatif dari para ulama yang lain –khususnya ulama kontemporer masa kini. Berikut kami paparkan secara ringkas hasil analisanya:
- Dalil pertama
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif’ dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al-Nahl: 123)
Dan khitan termasuk bagian dari millah (agama) Ibrahim. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun (HR. Al-Bukhari, 3356; Muslim, 2370).
Penggunaan dalil ini oleh sebagian ulama –Syeikh Yusuf al-Qardlawi misalnya-- dinilai terlalu memaksakan (mutakallaf). Karena perintah mengikuti agama Ibrahim lebih besar dan lebih mendasar dari sekedar praktik khitan, misalnya terkait mengikuti manhaj Ibrahim dalam menegakkan tauhid, menjauhi thahut dan semisalnya. Kalaupun dalil ini diterima sebagai salah satu dalil khitan, tentunya yang dimaksud adalah khitan pada laki-laki, bukan khitan perempuan.
- Dalil kedua
Bahwa beliau pernah bersabda: "Fithrah itu ada lima --atau ada lima dari fithrah-- yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis."
~ HR. Ahmad (2/410, no. 9310), al-Bukhari (5/2209, no. 5550), Muslim (1/221, no. 257), Abu Dawud (4/84, no. 4198), al-Tirmidzi (5/91, no. 2756), al-Nasa’i (1/13, no. 9), Ibn Majah (1/107, no. 292), Ibn Hibban (12/293, no. 5481), dan yang lainnya.
Hadits ini tidak spesifik menyebut khitan perempuan, malainkan hanya menyebut ‘khitan’. Menurut beberapa ulama kontemporer, kata ‘khitan’ itu diarahkan pada khitan laki-laki, dengan bukti dalam hadits tersebut disebutkan pula ‘mencukur kumis’ yang adalah khusus bagi laki-laki.
- Dalil ketiga
"Jika dua khitan telah bertemu, maka sungguh telah wajib mandi.”
~ HR. Al-Syafi’i (1/159), Ibn Majah (1/199, no. 608), al-Baihaqi dalam al-Ma’rifah (1/463, no. 1372) dan yang lainnya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
“Apabila seorang laki-laki duduk di antara cabang empat wanita (maksudnya kedua paha dan kedua tangan) dan bertemulah khitan (kelamin laki-laki) dengan khitan yang lain (kelamin wanita), maka sungguh telah wajib mandi."
~ HR. Ibn Abi Syaibah (1/84, no. 929), Muslim (1/271, no. 349) dan yang lainnya dari Sayyidah A’isyah radliyallahu anha.
Maksud dari ‘dua khitan’ adalah tempat khitan laki-laki dan tempat khitan perempuan. Sehingga secara tidak langsung menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan sebagaimana laki-laki. Akan tetapi, menurut Syeikh Yusuf al-Qardhawi (2006), hadits ini hanya memberi pengertian akan kebolehan mengkhitan perempuan. Bahkan menurut ulama kontemporer yang lain, hadits ini dinilai tidak menyangkut persoalan akan disyari’atkannya khitan perempuan, melainkan berbicara mengenai apa yang mewajibkan mandi.
- Dalil keempat
Dalil keempat ini merupakan dalil yang redaksinya sangat jelas menyinggung praktik khitan perempuan. Dalil keempat ini berupa hadits yang diriwayatkan dari Umm ‘Athiyah al-Anshariyah, beliau berkata:
“Sesungguhnya ada seorang perempuan di Madinah yang biasa mengkhitan para perempuan, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Janganlah engkau habiskan semua, sebab hal itu akan mempercantik wanita dan disukai oleh suami."
HR. Abu dawud (4/368, no. 5271) dan al-Baihaqi (8/324, no. 17338). Abu Dawud berkata: Hadits ini tidak kuat, karena diriwayatkan secara mursal. Muhammad bin Hassan (salah satu rawinya) adalah seorang yang majhul, sehingga hadits ini derajatnya lemah." Syeikh al-Hafidz Abdul Ghani ibn Sa’id –sebagaimana dikutip oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi—menyebut bahwa Muhammad ibn Hassan dalam sanad ini adalah Muhammad ibn Sa’id ibn Hassan, salah seorang yang dipenggal oleh Khalifah al-Manshur karena ke-zindiq-annya. Bahkan ulama menuduhnya sebagai seorang yang suka memalsukan hadits hingga mencapai 4000 hadits supaya umat Islam tersesat karenanya.
Walaupun demikian, hadits tersebut didukung oleh beberapa hadits lain dengan redaksi yang mirip, diantara riwayat dari al-Thabarani bahwa:
Dari Anas ibn Malik, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda kepada Umm ‘Athiyah –seorang tukang sunat di Madinah—: “Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”
HR. Al-Thabarani dalam al-Ausath (2/368, no. 2253). Al-Hafidz al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawa’id (5/172) berkata: Sanadnya hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Shahir (1/91, no. 122), al-Khathib (5/327), dan Ibn Adi (3/228). Ibn Adi menyebut bahwa al-Bukhari pernah berkata: Za’idah ibn Abi al-Raqad dari Ziyad al-Namiri (perawi hadits ini) adalah seorang yang munkar haditsnya. Al-Hafidz al-Iraqi juga menilai hadits ini dla’if (Takhrij al-Ihya’, 1/312).
Menurut para ulama kontemporer –semisal Syeikh Yusuf al-Qardlawi, Syeikh Ali Jum’ah dkk--, hadits-hadits ini dinilai dla’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Kalaupun misalnya hadits ini diterima sebagai dalil, maka diarahkan pada perintah yang bersifat nasihat (irsyad), bukan menunjukkan pada kewajiban ataupun kesunahan, karena hadits ini berkaitan dengan pengaturan perkara duniawi (Fatwa Syeikh al-Qardlawi, 2006).
*** Bersambung ke Bagian 3.
*** Kembali ke Bagian 1.
0 comments:
Post a Comment