- Dalil kelima
“Khitan merupakan sunnah (hukum sunnah atau jalan syar’i) bagi laki-laki, dan merupakan kemuliaan bagi perempuan”.
HR. Ahmad (5/75, no. 20738) dan al-Baihaqi (8/325, no. 17345) dari Abi al-Malih dari bapaknya. Diriwayatkan pula oleh al-Thabarani (7/273, no. 7112), Ibn Asakir (22/156), al-Dailami (2/205, no. 3013) dari Syaddad. Diriwayatkan pula oleh al-Thabarani (11/359, no. 12009), al-Baihaqi (8/325, no. 17344), dan Ibn Adi (1/274) dari Ibn Abbas. Lalu diriwayatkan lagi oleh al-Baihaqi (8/325, no. 17346) dari Abi Ayyub. Ibn Abdil Barr dalam al-Tamhid (21/59) berkata: Pokok pembicaraan (sanad hadits ini) berputar pada Hajjaj ibn Arthah yang merupakan orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Menurut penilaian para pakar hadits, hadits ini dinilai dla’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Sebut saja misalnya Al-Baihaqi menilai hadits ini dla’if dan munqati’ (Nail al-Authar, 1/113). Kemudian al-Haitsami, al-Dzahabi dan al-Iraqi juga menyatakan hadits ini dla’if (Faidl al-Qadir, 6/48).
Kalaupun misalnya dianggap shahih matn-nya, maka secara makna, hadits ini memberi pengertian akan adanya perbedaan hukum antara khitan bagi laki-laki dan khitan pada perempuan. Khitan laki-laki lebih ditekankan daripada khitan perempuan. Sehingga sangat mungkin jika khitan laki-laki dihukumi sunnah (seperti Madzhab Hanafi dan Maliki misalnya), maka khitan perempuan hukumnya ialah mubah (Fath al-Bari, 10/341). Sebagaimana Syeikh al-Qardlawi memaknai arti ‘makrumah’ sebagai sesuatu yang terbilang baik secara urf (konvensi), sehingga makrumah lebih dekat kepada hukum mubah.
Dengan melihat analisa beberapa dalil di atas, tentu tak mengherankan jika sejak dulu sudah ada beberapa ulama yang berkomentar sinis. Sebut saja misalnya,
Al-Hafidz Abu Bakr Muhammad ibn al-Mundzir (w. 319 H) pernah berkata: “Tidak ada dalam khitan (pada perempuan) ini sebuah khabar yang bisa dijadikan rujukan, ataupun hadits yang bisa diikuti” (Nail al-Authar, 1/145; Aun al-Ma’bud, 14/126; al-Manhal al-Adzb al-Maurud, 1/195; Faidl al-Qadir, 1/216).
Syeikh Syaraful Haqq al-Adzim Abadi (w. 1329 H) juga pernah berkata:
“Dan hadits tentang khitan perempuan itu diriwayatkan dari banyak jalur yang kesemuanya adalah dla’if, cacat dan tercela, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah sebagaimana yang sudah anda ketahui” (Aun al-Ma’bud, 14/126)
Trobosan Ulama Kontemporer Masa Kini
Pada pembahasan yang terakhir ini, kami akan sampaikan suatu trobosan hukum dan bahkan ijtihad terbaru dari para ulama kontemporer ahlus sunnah wal jamaah mengenai permasalahan khitan perempuan ini. Perlu diketahui, sebelum adanya trobosan ini sebenarnya sudah ada beberapa indikasi dari para ulama terdahulu yang mengarah pada kecurigaan akan perlu tidaknya khitan pada perempuan. Sebut saja misalnya Syeikh Abu Abdillah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Fasi al-Abdari al-Maliki atau yang lebih dikenal dengan Ibn al-Hajj (w. 737 H), beliau pernah menyatakan:
“Sesungguhnya masih diperselisihkan apakah khitan perempuan itu berlaku umum atau ada pemilahan antara perempuan dari belahan timur yang perlu dikhitan, dengan perempuan dari belahan dunia barat yang tidak perlu dikhitan lantaran tidak adanya tonjolan yang berlebih pada bagian yang seharusnya dipotong –tidak seperti perempuan dari timur” (al-Madkhal, 3/310; Fath al-Bari, 10/340)
Lalu Imam Abu Amr Yufus Ibn Abdil Barr (w. 463 H) juga pernah berkata:
“Yang menjadi kesepakan (ijma’) umat islam adalah khitan bagi laki-laki” (al-Tamhid, 21/59; Aun al-Ma’bud, 14/126)
Atas dasar itu semua dan ditambah dengan resolusi serta rekomendasi dari para ahli medis yang tergabung dalam organisasi dunia dibawah PBB, maka muncul lah trobosan baru dari para ulama kontemporer semisal Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Syeikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Syeikh al-Azhar Muhammad Sayyid Thanthawi, Syeikh Ali Jum’ah dan yang lainnya. Dimana trobosan atau ijtihad baru mereka patut untuk kita pertimbangkan di Indonesia sekarang ini.
Syeikh Yusuf al-Qardhawi --sebagaimana dalam makalah beliau yang disampaikan dalam Konferensi Internasional tentang khitan perempuan di Kairo tahun 2006—menyebut bahwa berdasarkan analisa dalil-dalil yang ada, pendapat yang paling rajih terkait hukum khitan pada perempuan adalah mubah (jawaz). Kemudian beliau melanjutkan, hukum mubah itu sangat mungkin untuk dilarang jika terbukti terdapat dlarar (bahaya) saat mengamalkannya. Dalam kasus khitan perempuan ini, sudah begitu banyak dari para ahli medis yang memperingatkan akan bahayanya.
Syeikh al-Azhar Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi --yang pada fatwa lamanya mendukung praktik khitan pada perempuan-- setelah adanya dialog antara ulama dan ahli medis secara mendalam, maka beliau berkesimpulan dan berkata:
“Dalam konteks perempuan, tidak ada teks (nash) syar’i yang shahih yang bisa dijadikan hujjah terkait khitan pada perempuan ini. Apa yang saya lihat tak lain adalah khitan tersebut merupakan bagian dari tradisi (adat) yang tersebar di Mesir dari generasi ke generasi. Kita juga temukan mayoritas negara-negara Islam sudah meninggalkan praktik khitan ini, termasuk Arab Saudi, negara-negara Teluk, Yaman, Syiria, Lebanon, Yordania, Palestina, Libya, al-jaza’ir, Maroko dan Tunisia”.
Syeikh Ali Jum’ah –Mufti Agung Mesir pada waktu itu—juga mengoreksi fatwa beliau sebelumnya. Jikalau sebelumnya beliau mendukung pelaksanaan khitan perempuan, bahkan menentang hasil-hasil riset medis yang menyebut efek bahayanya, maka dalam fatwa terbarunya (tahun 2007) beliau secara tegas mengatakan melalui Dar al-Ifta’ al-Mishriyah:
“Sesungguhnya persoalan khitan perempuan ini mengalami perubahan dan menimbulkan berbagai macam bahaya, baik secara fisik maupun psikologi. Maka sudah seyogyanya jika pendapat yang tepat adalah mengharamkannya.”
Lebih jauh, dalam artikel ilmiah yang beliau terbitkan di African Journal of Urology (2013), beliau menyatakan:
“Islam --tanpa diragukan lagi-- adalah agama yang menyesuaikan dan berkembang sesuai kondisi dunia dan pengetahuan ilmiah. Komitmen abadi terhadap hak asasi dan martabat manusia menuntut tindakan kami untuk memberantas khitan perempuan (FGM).”
Ulama lain yang mempunyai trobosan fatwa terkait khitan perempuan adalah Syeikh al-Syahid Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi. Dalam fatwa beliau tertanggal 05/05/2011 nomer 9173, beliau mengatakan:
“Kami tidak menemukan terkait khitan perempuan ini suatu dalil atas kewajibannya atau kesunahannya baik dalam Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ Shahabat atau Ijma’ ulama salaf. Terkait hadits tentang fitrah yang memasukkan persoalan khitan, maka itu diarahkan pada khitan laki-laki. Dalil dalam hal ini adalah bahwa Rasulullah tidak memerintahkan untuk mengkhitan putri-putrinya, bahkan persoalan khitan ini juga tidak menyebar diantara para shahabat maupun tabi’in. Maka dari itu, khitan perempuan tak lain merupakan tradisi di Jazirah Arab, yang ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus di sana, beliau bersikap diam atas hal itu. Sehingga hukumnya mengikuti apa yang muncul darinya, yakni suatu mashlahah atau sebaliknya, suatu mudarat. Para spesialis dari ahli medis telah sepakat bahwa khitan perempuan tidak memiliki faedah sebagaimana faedah dari khitan laki-laki, melainkan dapat menimbulkan bahaya yang nyata pada diri yang bersangkutan, bahkan dapat merusak haknya di dalam menikamti kehidupan berumah tangga.”
Dari semua yang telah kami paparkan, kami dapat menyimpulkan bahwa seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan sangat memungkinkan suatu hukum syari’at terkait persoalan tertentu bisa mengalami perubahan, kasus khitan perempuan merupakan contoh yang nyata. Secara khusus kita perlu mengamati dan meneladani sikap Syeikh al-Buthi. Syeikh al-Buthi adalah seorang tokoh yang sangat terkenal dengan kehati-hatiannya dalam merumuskan suatu hukum, tetapi terkait dengan khitan perempuan ini, beliau --sebagaimana ulama kontemporer yang lain-- juga menyelisihi teks-teks fiqh yang ada. Karena kami yakin jikalau beliau sangat paham akan apa yang pernah dinyatakan oleh Imam al-Qarrafi (w. 684 H),
“Selamanya bersikap jumud (kaku) atas kutipan-kutipan teks merupakan kesesatan dalam agama dan ketidak tahuan atas tujuan-tujuan mulia dari para cendekiawan muslim terdahulu” (al-Furuq, 1/177).
Sikap beliau ini, kami kira, perlu dicontoh oleh tokoh-tokoh agama di Indonesia. Termasuk MUI, NU, dan Muhammadiyah. Kalau perlu kita mengadakan konfrensi internastional yang mendatangkan semua pakar dari setiap kalangan --sebagaimana pernah dilakukan oleh Mesir pada 2006-- untuk secara khusus membahas persoalan khitan perempuan ini. Supaya tidak ada dusta lagi diantara kita. hehe...
Sekian, wallallahu a’lam.
Thuqba, 3 Maret 2018
Referensi
- Al-Furuq (Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq), Syeikh Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad ibn Idris al-Qarrafi al-Maliki (w. 684 H), Alam al-Kutub Kairo
- Al-Hukm al-Syar’i fi Khitan al-Inats, Makalah yang disampaikan oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam Konferensi Internasional tentang Khitan Perempuan di Kairo, Syawwal 1427 H/November 2006 M
- Al-Ikhtiyar li Ta’lil al-Mukhtar, Imam Majidduddin Abu al-Fadll Abdullah ibn Mahmud al-Mushili al-Hanafi (w. 683 H), Syeikh Mahmud Abu Daqiqah (Ed.), Mathba’ah al-Halabi Kairo, 1356 H/1937 M
- Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (ma’a Takmilah al-Subki wal-Muthi’i), karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya Ibn Syarof al-Nawawi al-Syafi’i (w. 676 H), Dar al-Fikr, Beirut
- Al-Mughni, Imam Abu Muhammad Muwaffiquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w. 620 H), Maktabah al-Qahirah, 1388 H/1968 M
- Al-Tamhid li Ma fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, Syeikh Abu Amr Yusuf ibn Abdillah ibn Abdil Barr al-Namari al-Maliki (w. 463 H), Musthafa ibn Ahmad al-Maliki dan Muhammad Abdul Kabir al-Bakri (Ed.), Wizarah al-Auqaf al-Maghrib, 1387 H
- Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (ma’a Hasyiah Ibn al-Qayyim), karya Syaraful Haq Muhammad Asyraf al-Adzim Abadi (w. 1329 H), Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut, 1415 H
- Fatawa Kibar Ulama al-Azhar al-Syarif Haula Khitan al-Inats, Dar al-Yusr Kairo, 2009
- Fatwa Syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi terkait khitan perempuan, 2011, https://www.naseemalsham.com/ar/Pages.php?page=readFatwa&pg_id=9173
- Female Circumcision in Indonesia: Extent, Implications and Possible Interventions to Uphold Women’s Health Rights, Population Council Jakarta, September 2003
- Hasyiah al-Adawi ala Syarh Kifayah al-Thalib al-Rabbani, Syeikh Abul HasanAli ibn Ahmad al-Sha’idi al-Adawi (w. 1189 H), Yusuf Muhammad al-Biqa’i (Ed.), Dar al-Fikr Beirut, 1414 H/1994 M
- http://www.who.int/reproductivehealth/topics/fgm/health_consequences_fgm/en/
- http://www.who.int/reproductivehealth/topics/fgm/overview/en/
- Jami’ al-Ahadits, karya Imam Suyuthi (w. 911 H), al-Munawi dan al-Nabhani, Sekelompok peneliti dibawah bimbingan Syeikh Ali Jum’ah (Ed.), dicetak atas bantuan Prof. Dr. Hasan Abbas Zakki, 1423 H
- Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Syeikh Manshur ibn Yunus ibn Shalahuddin al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H), Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut
- Khitan al-Banat, al-Imam al-Akbar Syeikh Jad al-Haqq Ali Jad al-Haqa (w. 1996 M), Fatawa Dar al-Ifta’ al-Mishriyah wa Fatawa Lajnah al-Fatwa bi al-Azhar, 1401 H
- Khitan al-Inats Laisa min Sya’a’ir al-Islam, dokumen dari Wizarah al-Auqaf al-Mishriyah, 1428 H/2007 M
- Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil, Syeikh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad ibn Muhammad al-Tharabilsi al-Maghrabi al-Maliki (w. 954 H), Dar al-Fikr Beirut, 1412 H/1992 M
- Pertarungan Aturan Sunat Perempuan, M. Irham I Y. Hesthi M, independen.id, 27 Mar 2017
- Radd al-Mukhtar ala al-Durr al-Mukhtar (Hasyiah Ibn Abidin), Syeikh Muhammad Amin ibn Umar ibn Abdul Aziz Abidin al-Dimasyq al-Hanafi (w. 1252 H), Dar al-Fikr Beirut, 1412 H/1992 M
- The Islamic view of Female Ciecumcision, Ali Gomma (Syeikh Ali Jum’ah), African Journal of Urology (2012) 19, 123-126
- Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (ma’a Hawasyi al-Imam Abdul Hamid al-Syarwani [w. 1301 H] wa al-Imam Ahmad Ibn Qasim al-Abbadi [w. 992 H]), Ibn Hajar Ahmad Ibn Muhammad al-Haitami al-Syafi’i (w. 974 H), Dar Ihya’ al-Turots al-Arobi, Beirut.
0 comments:
Post a Comment