Kami pribadi pernah suatu ketika dikejutkan dengan perilaku salah satu teman yang masih saja menyantap suhur (makanan sahur) walaupun adzan Shubuh sudah berkumandang. Dia beralasan karena ada hadits shahih yang memperbolehkannya. Dan ternyata, pendapat seperti itu banyak pula yang mengikuti bahkan ikut-ikutan mensyi’arkannya. Oleh karena itu, pada artikel ini kami akan menyajikan pemahaman para ulama dalam memahami hadits yang kami maksud tadi, dengan harapan supaya kita tidak tergolong kedalam kelompok yang tersesat karena sembrono dalam mengartikan suatu hadits. Sebagaimana pernah diperingatkan dengan jelas oleh Imam Sufyan Ibn Uyainah (w. 198 H) radliyallahu anhu, beliau pernah berkata:
“Hadits Rasulullah bisa menjadi sarana kesesatan kecuali bagi fuqaha (para ahli fikih)” (Al-Fatawa al-Haditsiyah, 521; Fath al-Ali al-Malik fi al-Fatwa ala Madzhab al-Imam Malik. 1/90)
Salah satu hadits yang banyak diantara umat Islam yang terlalu ceroboh dalam memahaminya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minum dan/atau makan) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/510, no. 10637), Abu Dawud (2/304, no. 2350), al-Hakim (1/588, no. 1552) dan al-Baihaqi (4/218, no. 7809). Imam al-Hakim berkata: hadits ini shahih ala syarth Muslim, dan Imam al-Dzahabai sepakat dengan beliau. Syeikh Syu’aib al-Arna’uth juga menilainya shahih (Takhrij Sunan Abi Dawud, 4/35).
Banyak yang salah paham terhadap hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang semisal. Mereka menyangka jikalau sahur masih boleh dilanjut walaupun adzan Shubuh sudah berkumandang. Pemahaman seperti ini tentu terbilang janggal karena bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Dalam Al-Qur’an sudah dinyatakan secara gamblang terkait batas waktu dimulainya puasa (menahan makan, minum dan seterusnya), Allah berfirman:
Dan makan minumlah (sepanjang malam itu) hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yang berupa fajar sidik. Kemudian sempurnakanlah puasa itu (dari waktu fajar) sampai (datang) malam (QS. Al-Baqarah: 187)
Benang putih dan benang hitam merupakan metafora dari putihnya siang dan hitamnya malam, yakni saat terbitnya fajar sidik. Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa orang yang berpuasa diharamkan baginya makan dan minum dengan terbitnya fajar sidik, dan berlalu sampai terbenamnya matahari (Tafsir al-Baghawi, 1/231).
Lebih jauh, Imam Ibn Qudamah juga pernah menjelaskan tentang makna ayat tersebut,
Ibn Qudamah berkata: “[Benang putih] maksudnya pagi (shubuh), karena yang namanya sahur pasti dilakukan sebelum fajar.” Beliau juga berkata: “Pemahaman ini merupakan sebuah ijma’ (kesepakatan) yang tidak ada satu ulama’ pun yang menyelisihinya, kecuali al-A’masy. Dia telah menyimpang dan tidak ada seorangpun yang condong kepada pendapatnya.” Kemudia beliau melanjutkan: “Kata al-Nahar (siang) yang diwajibkan untuk berpuasa adalah dimulai dari terbitnya fajar sampai waktu terbenam, dan ini merupakan pendapat mayoritas umat Islam.”
Kemudian ada hadits lain yang sangat mungkin untuk di”konfrontasi” dengan hadits Abu Hurairah tadi. Hadits yang kami maksud adalah,
“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: ‘Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai Ibn Ummi Maktum mengumandangkan adzan (yang kedua)’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik (1/74, no. 161), al-Syafi’i (1/83), al-Thayalisi (1/250, no. 1819), Ahmad (2/9, no. 4551), al-Bukhari (2/940, no. 2513), Muslim (2/768, no. 1092), al-Tirmidzi (1/392, no. 203) dan beliau berkata: Hadits Hasan Shahih, dan oleh Ibn Hibban (8/249, no. 3471) yang kesemuanya dari shahabat Ibn Umar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari (1/224, no. 597), al-Nasa’i (2/10, no. 639), Ahmad (6/44, no. 24214), Muslim (2/768, no. 1092) dan Ibn Huzaimah (1/210, no. 403) dari Umm al-Mukminin ‘A’isyah radliyallahu anha.
Sehingga ketika kita menemukan suatu hadits yang sekilas mengandung makna berlawanan dengan ayat maupun hadits yang terang benderang tersebut, sudah sepatutnya kita harus menahan diri dalam mengambil kesimpulan secara buru-buru, lalu mengecek lebih jauh bagaimana para ulama menyikapi makna hadits tersebut. Boleh jadi, pemahaman kita lah yang keliru sehingga terkesan hadits tersebut menyelisihi kandungan ayat Al-Qur’an yang sudah terang benderang itu.
Lalu bagaimana para ulama ahli hadits dalam memahami dan memadukan diantara nash-nash dalil tersebut? Berikut penjelasan dan klarifikasinya.
1. Penjelasan (Syarh) al-Khatthabi (w. 388 H) dalam Ma’alim al-Sunan
Syeikh Abu Sulaiman Hamd ibn Muhammad al-Busti al-Khatthabi (w. 388 H) dalam Ma’alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Dawud (2/106) menerangkan,
“Saya berkata: Hadits ini (hadits Abu Hurairah tadi) adalah mengacu pada hadits ‘sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga Ibn Ummi Maktum mengumandangkan adzan (yang kedua)’. Atau bisa juga dimaknai bahwa orang tersebut masih ragu akan datangnya waktu Shubuh -misalnya ketika langit sedang gelap gulita yang menjadikan seseorang tidak bisa yakin bahwa adzan tersebut menunjukkan terbitnya fajar-, karena jika dia tahu akan terbitnya fajar (shubuh) maka berkumandangnya adzan tidak diperlukan baginya. Karena dia diperintah untuk menahan diri dari makan dan minum disaat nyata baginya benang putih dari benang hitam yang berupa fajar sidik.”
Apa yang disampaikan al-Khatthabi di atas, dikutip dan diikuti pula oleh ulama-ulama setelahnya. Diantranya ialah Syeikh Syarafuddin al-Husein ibn Abdillah al-Thibi (w. 743 H) dalam Syarh-nya atas kitab Misykah al-Mashabih atau yang dikenal dengan al-Kasyifm ‘an Haqa’iq al-Sunan (5/1586-1587); Syeikh al-Mula Ali al-Qari (w. 1014 H) dalam Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih (4/421); Syeikh Syarafulhaq Muhammad Asyraf ibn Amir al-Adhim Abadi (w. 1329 H) dalam karyanya ‘Aun al-Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud (6/340-342) dan yang lainnya saat mereka menerangkan maksud hadits Abu Hurairah tadi.
Sehingga jelas bagi kita bahwa pada masa Nabi adzan Shubuh dikumandangkan secara dua kali, dan yang menunjukkan waktu shubuh adalah adzan yang kedua. Hadits Abu Hurairah tersebut diarahkan pada saat berkumandangnya adzan yang pertama. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam -pada hadits tersebut- memerintahkan untuk tetap melanjutkan makan dan minum. Sedangkan pada masa sekarang, kebanyakan umat Islam mengumandangkan adzan Shubuh hanya sekali, yaitu hanya pada saat terbitnya fajar yang tidak lain menunjukkan waktu Shubuh telah tiba. Jadi, konteksnya jelas berbeda.
Bersambung ke bagian 2...
0 comments:
Post a Comment