Hukum Muntah dan Muntahan
Sangatlah wajar jika wanita hamil sering mengalami mual bahkan sampai muntah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yang paling dominan ialah karena tubuh wanita hamil sedang memproduksi hormon kehamilan, yang dalam istilah kebidanan disebut human chorionic gonadotropin (HCG). Dalam literatur fiqh Syafi’iyah, dijelaskan bahwa muntah (prosesnya) tidak membatalkan Wudlu seperti halnya saat mata kita mengeluarkan air mata. Walaupun demikian, muntahan (barangnya) yang keluar dari perut (ma’idah) hukumnya najis -sekalipun tidak mengalamai perubahan apapun. Sedangkan jika ada makanan yang belum sampai ke perut kemudian keluar lagi, maka tidak termasuk najis. Penjelasan ini bisa dibaca dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (2/7 dan 2/551), Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (1/294-295) dan Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj (1/232).
Proses Perkembangan Janin
Kalau kita amati, Islam begitu antusias dalam menyinggung proses perkembangan janin manusia. Baca saja dalam Ayat-ayat suci Al-Qur’an, misalnya QS al-Hajj: 5, QS al-Mu’minun: 12-14, dan QS al-Ghofir: 67, disana dipaparkan secara jelas tentang tahapan-tahapan perkembangan janin ini. Kemudian diterangkan lagi secara lebih rinci di banyak hadits dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, sebut saja diantaranya, HR Imam al-Bukhori (318), (3208), (3332), (3333), (6594), (6595) dan (7454), HR Imam Muslim (2643), (2644), (2645) dan (2646), serta masih banyak lagi riwayat-riwayat dari yang lain.
Secara ringkas dapat kami tuturkan disini bahwa perkembangan janin diawali dengan periode nuthfah (air mani) selama empat puluh hari, lalu periode ‘alaqoh (gumpalan darah) selama empat puluh hari, dan kemudian periode mudghoh (gumpalan daging) selama empat puluh hari juga. Selama masa itu, sudah ada Malaikat yang ditugaskan untuk menjaga rahim. Bahkan menurut Imam Atho’ al-Khurosani, ketika janin masih berupa nuthfah, malaikat tadi sudah menaburkan debu yang diambilkan dari tempat kuburnya kelak, kemudian Alloh akan menciptakan sesosok manusia dari nuthfah dan debu tadi. Penjelasan Imam Atho’ ini tak lain menafsirkan QS Thoha: 55,
“Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain” (Tafsir al-Qurthubi, 11/210).
Setelah melewati tiga periode tadi, atau setelah janin berusia 120 hari (empat bulan), maka Alloh akan mengutus Malaikat yang ditugaskan untuk mencatat empat perkara, yang meliputi:
- Rizkinya; sedikit atau banyak, halal atau haram, dan akan diperoleh dengan cara bagaimana,
- Ajalnya; panjang atau pendek,
- Amalnya; baik atau buruk, dan
- Termasuk orang yang beruntung atau celaka.
Setelah proses pencatatan taqdir (al-kitabah) ini, barulah dilanjutkan dengan proses peniupan ruh (al-nafkhu). Ini sesuai zhahir riwayat Imam al-Bukhori (3208), walaupun menurut riwayat Imam al-Baihaqi (7/421) menunjukkan kebalikannya (al-nafkhu dulu, baru al-kitabah). ِAkan tetapi, menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H), yang lebih utama adalah mendahulukan riwayat Imam al-Bukhori karena lebih shohih dan lebih kukuh (al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in, 197-211).
Lebih jauh lagi, Imam al-Qurthubi (w. 671 H) mengutip pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa proses peniupan ruh dilakukan pada saat janin berusia empat bulan lebih sepuluh hari, yang tak lain adalah masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya (Tafsir al-Qurthubi, 12/7).
Perlu diketahui bahwa masa-masa tadi ialah dihitung sejak masa pembuahan. Yang dalam teori kebidanan, masa pembuahan adalah 14 hari setelah hari pertama dari menstruasi terakhir. Dengan demikian, masa pencatatan taqdir (al-kitabah) adalah setelah 120 hari (empat bulan) dari masa pembuahan, atau 134 hari kalau dihitung sejak hari pertama dari menstruasi terakhir.
Dalam tradisi Islam di Nusantara, kita mengenal budaya “Mapati” atau “Ngapati” (berasal dari kata papat/empat) yang diselenggarakan disaat janin berusia empat bulan. Tradisi ini dilakukan untuk mendo’akan si janin disaat proses pencatatan takdir tadi, dengan harapan si janin dianugrahi takdir yang baik dan termasuk orang yang beruntung. Diantara do’a yang biasa dibaca saat prosesi “Mapati” atau “Ngapati” tadi ialah (Majalah Langitan, PP. Langitan – Tuban, Edisi 47):
“Aku berlindung kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk. Dengan menyebut nama Alloh, dengan pertolongannya-Nya, dari-Nya, dan kepada-Nya serta tiada Tuhan yang berkuasa melainkan Alloh, tidak akan menghilangkan (kesempurnaan) Nya seorang yang berpaling dari- Nya, Dialah Tuhan yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Kami memohonkan perlindungan atas janin yang telah berusia empat bulan ini kepada Alloh yang Maha Lembut dan Maha Memelihara, tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kami memohon kepada Alloh dengan kalimat kalimat-Nya yang sempurna, dengan nama nama-Nya yang agung, dengan tanda tanda kebesaran-Nya yang tiada tara serta dengan huruf-huruf-Nya yang penuh berkah semoga janin ini senantiasa terjaga dari bisikan kejahatan manusia dan jin, dari tipu daya malam dan siang di setiap masa, terjaga dari semua fitnah, musibah, maksiat, dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada ikatan ikatan tali simpul serta dari kejahatan pendengki bila ia dengki. Ya Alloh, jadikanlah janin ini sebagai anak yang shaleh, anak yang mulya, sempurna, berakal, berilmu, bermanfaat bagi masyarakat, diberkahi dan penyantun. Ya Alloh, semoga kepribadiannya engkau hiasi dengan budi pekerti yang mulya, rupa dan bentuk yang indah nan sempurna, berwibawa, dan berjiwa yang bersih. Ya Alloh, catatlah dia ke dalam golongan para ulama yang shaleh dan para penghafal Al-Quran yang senantiasa mengamalkanya. Tuntunlah dia menuju amal yang akan menghantar-kannya ke dalam surga beserta para Nabi wahai Dzat Yang Maha Mulia, wahai Dzat sebaik baik pemberi rizqi. Ya Alloh, anugerahi dia dan ibunya taat kepada Engkau, selalu dzikir kepada-Mu, syukur kepada-Mu, beribadah untuk menggapai ridha-Mu. Dan jagalah dia dari keguguran, cacat kekurangan, penyakit, kemalas malasan, dan fisik yang tercela sampai waktunya dia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan sehat wal afiat dan penuh kemudahan tanpa mengalami rasa sakit dan kesusahan berkat syafaat Nabi kami Muhammad shollallohu alaihi wasallam”.
[Faedah 2] Supaya Memiliki Anak Laki-Laki
Syeikh Sulaiman al-Bujairomi al-Syafi’i (w. 1221 H) dalam karyanya Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khothib (1/351) menyebutkan bahwa barangsiapa menginginkan istrinya bisa melahirkan bayi laki-laki, maka disaat permulaan hamil peganglah perut istri sambil membaca do’a:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Alloh, sesungguhnya saya akan memberi nama MUHAMMAD (atau AHMAD) untuk bayi yang ada di dalam perutnya (istriku), maka mohon jadikanlah bayi itu untukku anak laki-laki”.
Insya’alloh dia akan dianugrahi anak laki-laki. Sudah banyak yang mencobanya dan alhamdulillah do’a ini terbukti mujarrab.
[Faedah 3] Untuk Memperbaiki Keturunan
Disebutkan dalam kitab Qurroh al-Uyun bi-Syarh Nadzm Ibn Yamun (114) karya Abi Abdillah Muhammad al-Tihami al-Husaini al-Fasi (w. 1333 H) bahwasanya seorang wanita yang hamil dianjurkan untuk sering mengunyah menyan Arab (al-Mushthoka dan al-Lauban) yang konon katanya mampu menambah kecerdasan serta meningkatkan daya hafalan pada anak yang dikandungnya. Masih dalam kitab yang sama, beliau juga menganjurkan bagi wanita hamil untuk memperbanyak makan buah Quince (safarjal, mirip buah pir) karena Rosululloh shollallohu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Makanlah buah safarjal (quince), karena sesungguhnya ia menguatkan hati dan menjadikannya berani, serta membuat anak menjadi rupawan” (HR. Al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus, dari Auf ibn Malik).
Walaupun hadits tersebut dinyatakan Dlo’if (lemah) oleh para pakar hadits, tapi masih boleh diamalkan dan dipegangi karena hanya berbicara tentang fadlo'il (keutaman-keutamaan). Apalagi menurut Ilmuwan modern, banyak diantara mereka ternyata juga merekomendasikan bagi wanita hamil untuk mengkonsumsi buah quince, karena secara signifikan mengandung vitamin dan mineral yang sangat bermanfaat bagi janin (womens-education.com).
Puasa Bagi Ibu Hamil
Sesuai teori di kitab-kitab fiqh yang mu’tabar, diperbolehkan bagi wanita hamil (walaupun dari hasil perzinahan sekalipun) untuk tidak berpuasa pada Bulan Ramadhan. Kemudian jika tidak puasanya itu disebabkan karena khawatir adanya bahaya pada dirinya sendiri atau khawatir pada dirinya sendiri sekaligus terhadap anak yang dikandungnya, maka ia hanya berkewajiban untuk mengqodlo’ puasa yang ditinggalkan dengan tanpa membayar fidyah. Akan tetapi, jika tidak puasanya tadi dikarenakan adanya kekhawatiran terhadap anaknya saja (takut keguguran misalnya), maka ia wajib qodlo’ sekaligus membayar fidyah (Tuhfah al-Muhtaj 3/441-442, Nihayah al-Muhtaj 3/194, dan Mughni al-Muhtaj 2/174-175).
Wallohu A'lam...
Untuk kembali ke Bagian 1, silakan klik LINK-INI.
Referensi
- Mafatih al-Ghoib atau al-Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H), Dar Ihya’ al-Turots al-Arobi, Beirut, 1420 H
- Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an atau Tafsir al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H), Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, 1384 H
- Ihya’ Ulum al-Din, Imam Abu Hamid al-Ghozali (w. 505 H), Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Al-Ihsan fi Taqrib Shohih ibn Hibban, Imam Muhammad ibn Hibban al-Tamimi al-Darimi (w. 354 H), al-Amir ‘Ala’uddin al-Farisi (tartib, w. 739 H), Syu’aib al-Arna’uth (tahrij, tahkik), Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1408 H
- Mirqoh al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashobih, Imam Abu al-Hasan Ali al-Mula al-Qori (w. 1014 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1422 H
- Al-Mu’jam al-Kabir, al-Hafidz Abu al-Qosim Sulaiman al-Thobaroni (w. 360 H), Dr. Sa’d ibn Abdulloh al-Humaid dan Dr. Kholid ibn Abdurrohman al-Juroisi (tahkik, isyrof), Dar al-Alukah
- Faidl al-Qodir Syarh al-Jami’ al-Shoghir, Zainuddin Muhammad Abdurro’uf al-Munawi (w. 1031 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, Mesir, 1356 H
- Musnad Abi Ya’la al-Mushili, al-Hafidz Ahmad ibn Ali al-Tamimi (w. 307 H), Syeikh Husein Salim Asad (tahkik), Dar al-Ma’mun Li Turots, Damsyiq
- Al-Matholib al-Aliyah bi Zawa’id al-Masanid al-Tsamaniyah, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani (w. 852 H), Dar al-‘Ashimah-Dar al-Ghoits, Saudi Arabia, 1419 H
- Irsyad al-Sari li-Syarh Shohih al-Bukhori, Syeikh Abul Abbas Ahmad Syihabuddin al-Qosthollani (w. 923 H), al-Mathba’ah al-Kubro al-Amiriyah, Mesir, 1323 H
- Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam Abu Zakaria al-Nawawi (w. 676 H), Dar al-Fikr, Beirut
- Al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in, Imam Ahmad ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H), Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H
- Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Imam Ahmad ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro. Mesir
- Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Imam Syamsuddin Muhammad al-Romli (w. 1004 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1404 H
- Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz al-Minhaj, Imam Syamsuddin Muhammad al-Khothib al-Syirbini (w. 977 H), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut
- Tuhfah al-Habib ala Syarh al-Khothib atau Hasyiah al-Bujairomi ala al-Khothib, Syeikh Sulaiman al-Bujairomi al-Syafi’i (w. 1221 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H
- Qurroh al-Uyun bi Syarh Nadzm Ibn Yamun, Syeikh Abu Abdillah Muhammad al-Tihami (w. 1333 H), Dar Ibn Hazm, Beirut, 1425 H
0 comments:
Post a Comment