Sudah menjadi kodrat Ilahi bahwa seorang wanita ditakdirkan sebagai pihak yang mengandung dan melahirkan seorang bayi. Kodrat yang ditanggungnya itu ternyata tidaklah mudah untuk dijalani, mulai dari perubahan bentuk bodi, mual yang bertubi-tubi, meningkatnya emosi, sampai bertaruh dengan nyawanya sendiri. Oleh karenanya, seorang ibu memeliki hak yang lebih besar atas anaknya daripada seorang bapak. Alloh telah menyinggung beratnya kodrat dan besarnya hak dari seorang ibu dalam firmanNya yang berbunyi:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim." (QS. Al-Ahqaf: Ayat 15)
Imam Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H) menyebutkan bahwa ayat ini menunjukkan dengan jelas akan hak seorang ibu yang lebih besar daripada seorang bapak. Karena dalam ayat ini, pada mulanya Alloh berfirman “Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya”, Dia menyebut bapak serta ibu secara bersamaan. Kemudian Dia menyebut secara khusus peran dan jasa seorang ibu, yakni dengan firmanNya “Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah”. Penyebutan secara khusus ini tak lain menunjukkan akan lebih besarnya hak yang dimiliki seorang ibu (Al-Tafsir al-Kabir, 28/15).
Dalam ayat ini pula secara spesifik dinyatakan tiga peran penting yang hanya bisa dilakukan oleh seorang ibu, tidak bisa oleh bapak, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Oleh karenanya, mencintai seorang ibu, mengasihi seorang ibu dan menta’ati seorang ibu seyogyanya tiga kali lipat lebih besar daripada kasihnya dan ta’atnya kepada seorang bapak. Hal ini sudah diisyaratkan dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh, beliau berkata:
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbuat baik pertama kali?’. Nabi menjawab: ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya: ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab: ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali: ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali: ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi: ‘Kemudian ayahmu’.” (Hadits Muttafaq alaih, al-Bukhori/5626, Muslim/2548, Ibn Majah/2706 dan 3658).
Dalam hadits tersebut, Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyebut nama "ibu" terlebih dahulu sebanyak tiga kali, baru setelah itu beliau menyebut nama "bapak".
Dalam hadits tersebut, Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyebut nama "ibu" terlebih dahulu sebanyak tiga kali, baru setelah itu beliau menyebut nama "bapak".
Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menambahkan jikalau berbuat baik kepada orang tua itu tidak harus orang tuanya tadi beragama Islam, melainkan seorang kafir sekalipun, kita masih dituntut untuk berbuat baik dan mengasihi mereka berdua (Tafsir al-Qurthubi, 10/239).
Keutamaan Wanita Hamil
Salah satu tujuan utama adanya pernikahan menurut konsep Islam adalah melahirkan dan melanggengkang keturunan. Karena dengan memiliki keturunan, sedikitnya ada empat keutamaan yang akan diraih menurut Imam al-Ghozali (w. 505 H), yaitu (1) sesuai dengan apa yang Alloh sukai, yakni ikut andil dalam melanggengkan ras manusia, (2) meraih kecintaan dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam karena dengan memperbanyak keturunan diharapkan mampu membanggakan beliau di Hari Kiamat kelak (HR. Ibn Hibbab, al-Syafi’i dan al-Baihaqi, shohih), (3) mencari keberkahan dengan do’anya anak yang sholih disaat kita meninggal (HR. Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, dan lain-lain), dan (4) meraih syafa’at dari anak kecil jikalau dia meninggal sebelum kita (HR. Al-Bukhori, al-Thobaroni, Ibn Majah, dan lain-lain). Keutamaan-keutamaan ini mustahil bisa diraih dengan tanpa proses pernikahan serta kehamilan (Ihya’ Ulum al-Din, 2/24-27). Karena proses untuk mencapai kemuliaan adalah termasuk kemuliaan itu sendiri.
Disamping beberapa keutamaan yang telah disebutkan tadi, ada beberapa riwayat dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam yang secara spesifik berbicara mengenai keutamaan wanita hamil, diantaranya:
(1) Jika sampai meninggal dalam keadaan hamil, maka termasuk mati syahid
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam pernah bersabda:
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Ada tujuh orang yang terhitung mati syahid selain karena terbunuh di jalan Allah, yaitu: korban wabah termasuk syahid; mati tenggelam termasuk syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, termasuk syahid; mati karena penyakit perut termasuk syahid; korban kebakaran termasuk syahid; yang mati tertimpa reruntuhan termasuk syahid; dan seorang wanita yang meninggal (dan di perutnya masih ada bayi) adalah syahid.” (HR. Malik 1/233-234, Abu Dawud 3111, Nasa’i 4/13, dll).
Dalam Syarh al-Sunnah (4/435) dijelaskan bahwa “al-Mar’atu tamutu bi-jam’in” maksudnya ialah wanita yang meninggal dan di dalam perutnya masih terdapat bayi. Terkait hadits ini, Imam al-Nawawi (w. 676 H) berkata bahwa hadits tersebut termasuk shohih walaupun tidak diriwayatkan oleh al-Syaikhon (Imam Bukhori maupun Imam Muslim) dengan tanpa ada perselisihan (Mirqoh al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashobih, 3/1140).
(2) Perjuangannya dinilai sebagai jihad fi sabilillah
Dari Abdulloh ibn Umar, dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah bersabda:
“Sesungguhnya bagi seorang wanita selama masa mengandung, melahirkan sampai menyapih (anaknya) memperoleh suatu pahala seperti orang yang berlumuran darah (demi jihad) di jalan Alloh. Sehingga jika dia mati diantara masa itu, maka berhak mendapatkan pahala mati syahid”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abd ibn Humaid dalam Musnadnya, al-Thobaroni dalam Mu’jam al-Kabir, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dan Ibn Abi al-Dunya dalam al-Iyal dengan sanad Hasan. Untuk melihat tahkrij hadits ini, silakan klik LINK.
(3) Jika diridloi suaminya, maka berhak mendapatkan pahala orang yang berpuasa sekaligus berjuang di jalan Alloh
Dari Sahabat Anas ibn Malik, bahwasanya Salamah -wanita yang mengasuh Sayyid Ibrohim putra Nabi- pernah mengaduh kepada Rosululloh shollallohu alaihi wasallam, beliau berkata:
“Wahai Rosululloh, engkau sering memberi kabar gembira kepada para lelaki akan setiap kebaikan, namun apakah engkau juga memberi kabar gembira kepada para perempuan?"
Maka Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda:
“Apakah salah satu diantara kalian akan rela jika ada yang sedang mengandung dari hasil hubungan dengan suaminya, sementara suaminya meridloinya. Sesungguhnya ia berhak memperoleh pahala menyerupai pahala orang yang berpuasa sekaligus berjuang di jalan Alloh. Apabila dia merasa sakit karena hendak melahirkan, maka penduduk Langit maupun Bumi tidak ada yang tahu apa yang disamarkan baginya (di sisi Alloh), berupa ketenangan batinnya . Apabila dia telah melahirkan, maka tidak ada tetesan air susu yang keluar dari susunya dan tidak ada hisapan yang dihisap dari putingnya kecuali pada setiap tetesan dan isapan itu dicatat sebagai suatu kebaikkan. Dan apabila dia terjaga pada waktu malam, maka ia memperoleh pahala menyerupai pahala 70 budak yang dimerdekakan di jalan Alloh" (HR. Hasan ibn Sufyan, al-Thobari dan Ibn Asakir dari Salamah -pengasuh sayyid Ibrohim-)
Penjelasan lebih jauh tentang hadits ini, bisa dibaca dalam Faidl al-Qodir Syarh al-Jami’ al-Shohir (2/164).
(4) Memperoleh pahala seperti orang yang beribadah malam, berpuasa, berihram serta berjihad fi sabilillah
Dari Ibn Abbas, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Sesungguhnya seorang muslimah disaat dia hamil, maka berhak baginya pahala orang yang beribadah malam, berpuasa (pada siang harinya), berihrom sekaligus berjihad fi sabilillah. Hingga disaat dia melahirkan, maka sungguh baginya pada penyusuan pertama yang ia berikan memperoleh pahala hidupnya makhluk yang bernyawa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili dalam Musnadnya. Menurut Syeikh Husein Salim Asad dalam tahkiknya atas kitab Musnad Abi Ya’la al-Mushili, sanad hadits tersebut adalah dlo’if (Musnad Abi Ya’la al-Mushili, 4/345). Hadits ini juga dikutip oleh al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani (w. 852 H) dalam Al-Matholib al-Aliyyah bi Zawa’id al-Masanid al-Tsamaniyah (8/552).
[Faedah 1] Do’a Bagi Wanita Hamil
Walaupun tidak ada do’a khusus dari Rosululloh shollallohu alaihi wasallam terkait kehamilan, namun seyogyanya bagi kita untuk selalu memperbanyak do’a dalam menghadapi proses yang begitu penting ini, apalagi kita tahu kalau do’a termasuk senjatanya orang yang beriman. Dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi juga disebutkan “Tidak ada yang dapat menolak takdir Allah (qodlo’) selain do’a”. Dalam kesempatan yang lain, Rosululloh shollallohu alaihi wasallam juga pernah bersabda: “Barangsiapa tidak berdo’a kepada Alloh, maka Alloh murka kepadanya” (HR Ahmad dengan sanad tidak ada masalah, cek Irsyad al-Sari li-Syarh Shohih al-Bukhori 9/173).
Diantara do’a yang patut dibaca saat sedang hamil ialah:
"Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa." (QS. Ali 'Imran: Ayat 38)
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik." (QS. Al-Anbiya: Ayat 89)
"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan sholat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku." (QS. Ibrahim: Ayat 40)
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: Ayat 74)
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak-cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah kami dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: Ayat 128)
"Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim." (QS. Al-Ahqaf: Ayat 15)
Kemudian ditambah do’a dari al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (w. 1431 H), kalau bisa dibaca setiap habis sholat lima waktu,
“Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam. Ya Alloh, haturkan sholawat serta salam kepada junjungan kita Muhammad, keluarganya serta shohabatnya sekalian. Ya Allah, jagalah anakku selama dia di dalam perutku dan berilah ia kesehatan badan, beserta umat Rasulullah shollallohu alaihi wasallam, Nabi dan utusanMu. Sesungguhnya Engkau Dzat yang menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhanMu, dengan kesembuhan yang cepat dan tidak kembali lagi. Ya Alloh, keluarkanlah ia dari perutku disaat kelahiran dalam keadaan mudah, dan selamat di dunia dan di akhirat, dan kabulkanlah doa kami sebagaimana engkau kabulkan doa Nabi dan RasulMu Muhammad shollallohu alaihi wasallam. Ya Alloh, periharalah anak yang Engkau keluarkan dari dunia kegelapan menuju dunia yang terang, serta jadikan dia seorang yang sehat, sempurna, cerdas lagi lembut. Ya Alloh, jadikanlah dia seorang yang sholih, diberkahi, alim, serta mampu menghafal firman-firmanMu yang tersimpan dalam kitabMu yang terjaga. Ya Alloh, panjangkanlah umurnya, sehatkanlah badannya, fasihkanlah lisannya untuk membaca Al-Qur’an. Ya Alloh, jadikanlah dia tabah ketika sakit dan saat haus dengan berkat NabiMu Muhammad shollallohu alaihi wasallam dan berkat semua para nabi, rasul, para malaikat yang dekat, para syuhada‘, para ulama’, dan semua hamba Alloh yang sholeh. sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bersalawat kepada Nabi, maka wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kalian kepadanya. Dan do'a akhir kami adalah: Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam”.
Sebagian Kiai ada yang menganjurkan bagi wanita hamil untuk membaca Surah Muhammad dan Surah Luqman, dengan harapan anaknya kelak memiliki akhlak yang mulia. Kemudian membaca Surah Yusuf, yang insya’Alloh dianugrahi anak yang rupawan. Dan juga membaca Surah al-Rohman dan Surah Maryam, insya’Alloh akan dilancarkan dalam proses kelahirannya.
Ada juga do’a dari al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attos, seorang alim dan waliyulloh dari Hadlromaut, bahwasanya jika ingin anak yang dikandungnya tidak mengalami keguguran, maka di setiap habis sholat lima waktu letakkan tangannya pada perut wanita yang hamil seraya membaca:
Selain memperbanyak do'a, perlu dicatat juga bahwa penting sekali bagi wanita hamil untuk menjaga makanannya agar tetap halal dan thoyyibah (baik). Karena makanan yang halal mampu membuat anaknya lebih terjaga dari kemaksiatan. Seperti nasihat dari Imam Sahl ibn Abdulloh al-Tustari (w. 283 H) rodliyallohu anhu,
Beliau pernah berkata: “Barangsiapa memakan makanan haram, maka anggota badannya (akan cenderung) bermaksiat, baik ia menginginkan ataupun tidak, ia mengetahui ataupun tidak. Dan barangsiapa makanannya berupa makanan halal, maka anggota badannya (akan cenderung) taat dan dianugerahi taufiq untuk melakukan kebaikan” (Ihya’ Ulum al-Din, 2/91).
Wallohu A'lam..
Dan bersambung ke BAGIAN-2.
Referensi
- Mafatih al-Ghoib atau al-Tafsir al-Kabir, Imam Fakhruddin al-Rozi (w. 606 H), Dar Ihya’ al-Turots al-Arobi, Beirut, 1420 H
- Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an atau Tafsir al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H), Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, 1384 H
- Ihya’ Ulum al-Din, Imam Abu Hamid al-Ghozali (w. 505 H), Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Al-Ihsan fi Taqrib Shohih ibn Hibban, Imam Muhammad ibn Hibban al-Tamimi al-Darimi (w. 354 H), al-Amir ‘Ala’uddin al-Farisi (tartib, w. 739 H), Syu’aib al-Arna’uth (tahrij, tahkik), Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1408 H
- Mirqoh al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashobih, Imam Abu al-Hasan Ali al-Mula al-Qori (w. 1014 H), Dar al-Fikr, Beirut, 1422 H
- Al-Mu’jam al-Kabir, al-Hafidz Abu al-Qosim Sulaiman al-Thobaroni (w. 360 H), Dr. Sa’d ibn Abdulloh al-Humaid dan Dr. Kholid ibn Abdurrohman al-Juroisi (tahkik, isyrof), Dar al-Alukah
- Faidl al-Qodir Syarh al-Jami’ al-Shoghir, Zainuddin Muhammad Abdurro’uf al-Munawi (w. 1031 H), al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, Mesir, 1356 H
- Musnad Abi Ya’la al-Mushili, al-Hafidz Ahmad ibn Ali al-Tamimi (w. 307 H), Syeikh Husein Salim Asad (tahkik), Dar al-Ma’mun Li Turots, Damsyiq
- Al-Matholib al-Aliyah bi Zawa’id al-Masanid al-Tsamaniyah, al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqolani (w. 852 H), Dar al-‘Ashimah-Dar al-Ghoits, Saudi Arabia, 1419 H
0 comments:
Post a Comment